7.

1K 155 4
                                    

Sebastian mengangkat wajahnya, napasnya berat dan cepat, begitu pula napas Lisa. Wajah cantiknya menjadi merah termasuk telinga dan lehernya.

"Ingat! Jangan tantang otoritasku!" Suara bernada rendah itu berbicara dekat dengan bibirnya. Alice mengerjap, perlahan kesadarannya kembali.

"Kau tidak bisa menggunakan otoritasmu bersamaku!" Suara marah itu berteriak, dan pada detik-detik Sebastian lupa melindungi dirinya, sebuah tinju kecil namun kuat melesat tepat ke pipinya.

"Fuck!" Sebastian merasakan sakit yang menusuk saat tinju Alice mengenai dirinya.

Alice berputar dari pelukannya, namun Sebastian lebih cepat, tangan yang kuat meraih tubuhnya dan menariknya lagi. Dia menutup bibir Alice dengan bibirnya. Menciumnya dengan keras.

Alice mengayunkan tangannya dan menampar kedua pipinya dengan keras. Wajah Sebastian memerah dengan bekas telapak tangan. Otaknya berhenti selama dua detik.

"Fucking hell, kau kerja keras sekali!" Sebastian menggeram dan menundukkan wajahnya ke arahnya, Alice membuang mukanya.

"Maxim tolong!" Alice meneriakkan nama yang terlintas di benaknya, tiba-tiba seperti mantra ajaib, Sebastian langsung menghentikan aktivitas bullying yang dilakukannya.

Sebastian membeku saat mendengar nama adiknya. Kesadarannya berangsur-angsur kembali. Dia mengutuk dengan keras. Oh God, apa yang sudah dia lakukan?

"Lepaskan aku sekarang. Atau aku akan memberitahu Maxim apa yang sudah kau lakukan padaku" Suara yang sangat marah itu memerintahkan.

Sebastian menatap wajahnya yang memerah dengan teka-teki di matanya sejenak lalu melepaskannya. Dia berjalan kembali untuk berdiri di belakang meja. Matanya gelap dan tidak bisa dibaca. Alice mengusap bibirnya, dia melihat pintu kamar mandi, tak segan-segan berlari masuk, membanting pintu hingga tertutup.

Sebastian melihat ke arah pintu kamar mandi, terdengar suara seperti muntahan dan suara air mengalir.

"Aku hanya menciummu, aku harus melakukan lebih dari itu untuk membuatmu hamil." Ujar Sebastian dengan lantang, sinis, memastikan itu sampai ke telinga Alice di kamar mandi.

"Dasar iblis gila. Aku membencimu!"

Sebastian mendengar suara kecil berteriak marah dari dalam kamar mandi. Menyebabkan wajah cemberutnya sedikit mengendur.

Huh... Setidaknya dia bisa membangkitkan emosinya, seperti yang Alice lakukan padanya.

"James, Ben." Sebas memanggil pengawalnya itu ke dalam ruangan.

Pintu langsung terbuka karena mereka hanya berdiri di luar. Para pengawal itu melihat wajah sang bos terdapat bekas jari merah di kedua pipinya. James dan Ben menatap, tapi ketika sang bos menembakkan mata birunya ke arah mereka, mereka dengan cepat mengubah target untuk melihat ke tempat lain.

"Bawa apa pun milik Alice dari kantor, dan taruh di meja itu."

Perintah itu datang dan menunjuk ke meja di pojok dekat pintu. Belum pernah ada meja apa pun di tempat itu sebelumnya, James dan Ben baru saja membawanya ke sana satu jam yang lalu.

"Ya Bos." Para pengawal berujar selaras.

Setahu mereka Sebastian jarang berkunjung ke kantor. Dia lebih suka bekerja dari penthouse. Ada manajer yang sudah menangani berbagai hal untuknya, kecuali hal-hal penting yang memerlukan keputusannya. Dokumen dan laporan akan dikirim ke penthouse untuk ditandatangani dan itu adalah tugas James, dia seperti pembawa pesan kepada atasannya.

Sebastian belum pernah memiliki sekretaris sebelumnya. Tidak ada! James dan Ben mengambil tanggung jawab itu apa pun yang seharusnya.

Dan sekarang, bos besar itu merasa ingin memilikinya. James dan Ben tidak heran jika ada gosip di dalam perusahaan. Semua orang tahu apa yang membuat bos besar mereka terkenal. Tentu saja, kekayaan dan kekuasaannya adalah yang nomor satu dan wanita adalah yang nomor dua.

Timing The Las Vegas PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang