11.

1.2K 154 13
                                    

Alice memandangi wajah berwarna-warni itu, hitam biru dan kini merah darah. Dia pasti memberinya beberapa pukulan bagus di sana, yang membuat alisnya yang retak berdarah. Setelannya tampak tak ternilai harganya, artinya...sampah.

"Gunakan kain itu di sana!" Alice berbicara dengan suara keras, sambil menunjuk pada kain yang dia lemparkan ke dalam mangkuk bekas air panas.

Sebastian masih tidak melepaskannya dan lengannya yang kuat menegang saat Alice mencoba bergerak. Gadis itu berhenti meninjunya. Tangannya merah, berlumuran darahnya.

"Lakukan untukku. Kau penyebabnya." perintah Sebastian.

Alice merasa kasihan pada bos mafia itu, padahal dia bukanlah orang yang kejam, namun apa yang baru saja dilakukannya padanya, membuatnya terlalu curiga untuk mempercayai pria tersebut.

Pria ini adalah anjing gila!

Segala sesuatu tentang pria ini sangat bertolak belakang dengan Maxim, adiknya. Mereka benar-benar berbeda, terlepas dari penampilan mereka. Itulah satu-satunya hal yang menunjukkan bahwa mereka berhubungan.

Alice kembali menggeliat dan terkejut karena kali ini Sebastian melepaskannya dari pangkuannya. Tapi dia masih memegang lengan Alice.

"Duduk di sini, dan bersihkan untukku."

Hati Alice sudah sedikit lebih tenang dari sebelumnya, dia duduk namun bersiap-siap kalau-kalau Sebastian akan mendekatinya lagi. Alice tidak suka melihat darah, jadi ia menggunakan kain itu untuk menyekanya terlebih dahulu. Sebastian memberinya tatapan dingin, menarik kain dari tangannya untuk menyeka wajahnya sendiri.

"Ouch! Damn it!" Umpat Sebastian. Wajahnya begitu sakit sekarang, tidak percaya malam yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi seperti ini.

Alice melihat cara Sebastian menggunakan kain itu untuk menyeka wajahnya, dia tidak tahan, jadi Alice mengambilnya kembali dan mencucinya di mangkuk, lalu mulai menyeka darah dari wajahnya, tidak begitu lembut, itu membuat Sebastian tersentak dan mengumpat lagi.

Alice bermaksud kasar, melihat pria itu menggertakkan gigi. Dia pasti pantas mendapatkannya.

Ponselnya berdering. Alice melompat dari tempat duduk. Itu ponselnya dan ada di dompetnya di sofa seberang. Dia meraihnya dan Sebastian tidak menghentikannya.

"Halo, Alice." Suara asing itu menyapa dari telepon. Alice mengerutkan keningnya karena tidak mengenali sang penelepon. "Ini aku. William. Sepertinya kita belum menyelesaikan makan malam kita."

"William, i'm sorry" Alice tidak tahu harus berkata apa. Dia tahu sudah menyia-nyiakan malamnya. William pasti akan membatalkan kesepakatan dengan uncel John.

"Yah, tidak apa-apa, karena itu bukan salahmu. Seharusnya aku yang bilang maaf. Kita bisa memperbaikinya. Besok malam, kita bisa bertemu lagi, kalau kau mau?" William menawarinya kesempatan untuk memperbaikinya.

Alice melirik Sebastian, pria itu mendengarkan dengan wajah cemberutnya.

Sebelum Alice sempat berkata apa pun kembali pada William, tangan besar itu meraih dan menyambar ponselnya. Sebastian berbicara di ponsel dengan ekspresi serius dan gelap di wajahnya.

"Bajingan. Dia bersamaku sekarang. Kau harus menerima kekalahanmu. Sudah kubilang dia milikku."

"Aku bukan milikmu!" Alice langsung berteriak padanya. Beraninya dia mengatakan hal menjijikkan seperti itu!

"Hah! Aku dengar itu Sebastian. Wanita itu tidak bersedia menjadi milikmu. You should be a man" ujar William dengan nada mengejek.

"Shut the fuck up! Dan dengarkan aku, brengsek! Jangan pernah menyentuhnya, atau kau harus menghadapiku."

Timing The Las Vegas PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang