S1 Eps. 09 - Worshipper

166 28 5
                                    

_____________________________

Happy Reading!
_____________________________


Histeria yang Arashi alami selepas menyaksikan langsung bagaimana mereka membakar manusia di depan banyak orang telah menarik separuh kewarasannya pergi. Gadis itu terduduk di kasur kabinnya dengan ekspresi linglung. Syok berlebih menyebabkan ia tidak sadar jika Alvaro yang tadi mengantarnya kembali ke kamar, kini telah pergi. Arashi menoleh ke arah pintu. Tidak tahu apakah benda itu terkunci atau tidak, tapi dia terlalu syok untuk sekadar bangkit dari ranjang.

Ingatannya melayang kepada Rana dan Bara. Sahabatnya yang bahkan di malam kejadian tidak bertemu dengannya sama sekali. Gadis itu menekuk lutut, bibirnya bergetar merapal doa. Arashi berharap mereka tidak mengalami nasib yang sama seperti Amelie maupun dirinya. Ku mohon Tuhan, selamatkan mereka.

Pintu kabin tiba-tiba terbuka. Atensinya beralih pada seorang gadis berambut cokelat panjang yang berdiri di ambang pintu. Perawakannya mungil, bahkan suaranya terdengar lembut saat ia membuka mulut. "Arashi?"

Sang gadis berambut indigo mengernyit. "Siapa...?"

"Kau terlihat sangat kacau." Gadis asing itu melangkah masuk. Tanpa aba-aba langsung menyentuh rambut Arashi seringan bulu. "Alvaro benar-benar memaksamu."

Arashi menepis tangan itu pelan. "Pergi dari sini," suaranya terdengar serak.

Gadis berambut cokelat itu memiringkan kepala, seolah tak percaya jika Arashi mengusirnya.

"Pergi dari hadapanku kalau kau teman laki-laki bajingan itu." Arashi berkata lagi, geram. "Aku muak mendengar namanya."

"Aku bukan temannya." Gadis itu mengulas senyum. "Perkenalkan, namaku Naina. Aku sudah lama tinggal di camp ini. Jauh sebelum kau datang." Manik birunya memindai penampilan Arashi dari atas hingga bawah. "Satu tahun yang lalu, aku juga berada di posisimu."

Mata Arashi membulat. Dia menoleh tak percaya. "Kau... diculik?"

Naina mengangguk.

"Laki-laki itu juga yang melakukannya?" tanya Arashi lagi.

Naina menggeleng, merasa bahwa Arashi mulai melunak, dia memberanikan diri untuk duduk di samping gadis itu. "Iqbal yang membawaku kesini."

"Iqbal? Siapa Iqbal?"

"Temannya Alvaro," jawab Naina. "Eung... yang tadi menggendong perempuan itu ke tengah lapangan...."

Arashi terperangah. Berarti laki-laki yang mengunciku di kamar vila kemarin itu adalah Iqbal. Gadis itu lalu menggigit bibir. "Dan kau pasrah saja ketika dibawa kemari?"

Naina menggeleng, wajahnya mendadak murung dan ekspresinya benar-benar rapuh. "Aku pernah sepertimu. Marah dan memberontak. Bahkan Iqbal sampai mengurungku berhari-hari di ruangan kecil dan pengap karena aku terus berusaha kabur. Beruntung Alvaro menyayangimu sehingga dia tidak memperlakukanmu sekasar Iqbal memperlakukanku dulu."

"Jangan sebut namanya."

"Maaf." Gadis itu terkekeh canggung. "Saat dia membawamu ke camp, aku seperti melihat diriku yang dulu, jadi aku memutuskan untuk menemuimu dan mungkin memberitahu tentang apa yang sebenarnya terjadi disini."

Kalimat itu menarik minat Arashi lebih besar dari sebelumnya. "Katakan." Dia bergerak menggenggam tangan Naina. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"

Sang gadis bermata biru memandang langit-langit sekejap sebelum kembali melanjutkan. "Kita ada di sebuah sekte. Sebuah kelompok penyembah bulan yang selama ini sering diceritakan dalam dongeng sebelum tidur. Aku kira itu cuma mitos, tapi setelah aku tiba di sini, semuanya nyata. Dongeng itu menjadi kenyataan. Mereka benar-benar sekte sesat. Mereka adalah monster."

𝐌𝐎𝐎𝐍𝐀: 𝐓𝐡𝐞 𝐈𝐧𝐜𝐞𝐩𝐭𝐢𝐨𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang