AM-10

1K 80 5
                                    

Happy reading guys!!














Suasana begitu menegangkan. Baik Umi Hafsah dan kedua orang tua Syaqira tengah menunggu dengan cemas diluar ruangan. Sedangkan di dalam, Gus Ibra terus menemani Syaqira yang kini tengah bertaruh nyawa demi kelahiran anaknya.

"Tahan riyen nggih? Bu dokternya baru siapin alat-alatnya." Syaqira hanya mengangguk lemas.

"Bismillah ya, sayang? Kamu pasti bisa," ucap Gus Ibra terus menyemangati istri tercintanya.

"Hapis di rumah sama siapa, Mas?" tanya Syaqira ditengah-tengah kesibukannya mengejan.

"Kamu tenang aja, ya. Hapis dirumah sama Abi sama Pakde, budenya." Setelah itu, barulah Syaqira fokus pada persalinannya.

Disisi lain, Hafizh tengah cemberut. Ia sedikit kesal pada kedua orangtuanya sebab, saat bangun dari tidurnya, ia tidak menemukan adanya Aba dan Umanya. Bocah itu sempat menangis, sampai akhirnya Kyai Abdullah datang menghampiri Hafizh yang menangis diruang tengah.

Untungnya, ada Manaf dan Husain yang ikut menemani Hafizh di rumah. Ada Gus Yusuf dan Ning Hilya yang menjanjikan akan membawa Hafizh jalan-jalan sehingga tangis bocah itu terhenti.

Kini bocah itu duduk di pangkuan sang kakek. Menunduk sembari memainkan kopiah putih milik kakeknya.

"Uma kok lama toh, Kek?" tanya Hapis dengan hidung yang kembang kempis hendak menangis.

"Yo, lama toh Pis. Nanti sekitar lima harian lagi, Uma baru pulang." Justru perkataan Kyai Abdullah memicu tangis Hafizh. Bocah itu kembali menangis sembari mendongak menatap Kakeknya.

"Hapis mau Uma, Kek. Hapis ndak mau disini sendili," ujar bocah itu.

Kyai Abdullah terkekeh pelan, lantas membawa cucunya itu kedalam dekapannya. Hafizh menyandarkan kepalanya pada bahu Kakeknya. Menarik ingus beberapa kali karena menganggu penciumanya.

Dari arah ndalem, Manaf dan Husain berlari menuju teras rumah Gus Ibra. Kyai Abdullah terkekeh pelan melihat kedua cucunya itu, lantas merentangkan sebelah tanganya. Baik Manaf maupun Husain langsung berhambur kedalam dekapan sang Kakek.

"Hapis nangis," celetuk Husain yang kini berada dipangkuan Kyai Abdullah.

Hafizh berada dipangkuan kanan Kyai Abdul, sedangkan Husain sebaliknya. Manaf berdiri didepan Kyai Abdullah sembari bertumpu pada tubuh Kakeknya.

"Hapis, ngga usah nangis. Nanti Uma sama Aba kamu pasti pulang kok. Udah gitu nanti bawa adek bayi. Aku pernah dulu kayak gitu." ucap Manaf.

"Hooh." Kini sikecil Husain menimpali.

"Kamu kan ngga tau apa-apa, Ucen," ujar Manaf sembari menatap adiknya dengan kerutan didahi.

Bocah itu tidak menjawab. Husain hanya menyengir menatap Kakeknya lantas tangan kecilnya bergerak menyentuh jenggot sang kakek.

"Ucen kan cuma jawab, Mas," ucap Kyai Abdullah mewakilkan cucunya. Mendengar itu, Manaf kembali mendengus pelan.

Kyai Abdullah beralih pada Hafizh yang masih setia merebahkan kepalanya pada bahunya. Pria paruh baya itu tak henti-hentinya menepuk-nepuk punggung kecil Hafizh bermaksud untuk menenangkan bocah itu.

"Sampun, nangis e?"

(Sudah nangisnya?)

"Belom...hiks, Hapis ndak mau berenti kalau Uma ndak pulang." Baik Manaf maupun Kyai Abdullah hanya mampu terdiam mendengarnya.

***

Kebahagiaan terpancar pada wajah Gus Ibra. Lelaki itu menatap bayi yang sudah selesai dibersihkan. Bayi perempuan, sesuai dengan apa yang mereka impikan. Lelaki itu tidak bisa berhenti tersenyum. Setelah mengadzani sang putri, kini ia masih betah menatap bayinya yang terpejam.

After MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang