12. Zee

5 2 0
                                    


''Terkadang mau sesakit dan sesusah apapun hidupmu, dunia akan terus berjalan tanpa perizinanmu."

~~~~

Seorang perempuan sedang duduk tepat di depan ruang piket, kakinya yang pendek menyebabkan tergantung seperti kaki anak kecil. Perempuan tersebut adalah Zee, Zee sedang menunggu Asa melakukan wawancara dengan satpam sekolahnya. Sedangkan hari ini Mora ternyata tidak masuk sekolah, di karenakan sedang tidak enak badan, katanya.

Zee duduk sembari memegangi dua ponsel di tangannya. Ponsel satu miliknya, dan ponsel satunya lagi milik Asa. Asa menitipkan ponselnya itu kepada Zee saat sedang melakukan wawancara.

Zee terus memperhatikan jam tangannya itu, melihat Asa yang tak kunjung selesai. Karena merasa bosan, Zee mencoba memainkan ponsel Asa. Zee mengetahui kata sandi ponsel temannya itu. Ia membuka salah satu aplikasi foto, yaitu galeri. Zee melihat foto-foto lawas Asa di galeri ponselnya, ia tersenyum sendiri melihat foto-foto ekpresif wajah Asa saat kecil dulu, ia juga melihat banyak sekali foto Asa dengan keluarganya.

Tetapi Zee mengerutkan dahinya, saat melihat foto Asa dengan seorang anak laki-laki. Usia mereka mungkin masih terlihat masih SD di foto tersebut. Zee sepertinya mengenali foto anak laki-laki yang sedang ia lihat, tetapi Zee tidak mengingatnya siapa anak itu.

Kok kayak tau ya siapa dia? Batin Zee merasa mengenali wajah si anak laki-laki tersebut.

Saat sudah berada di akhir galeri, foto terakhir di ponsel temannya itu adalah terdapat foto makam seseorang. Zee membaca nama batu nisan berwarna biru tua di foto tersebut.

Efendi Kusuma? Ayahnya? Batin Zee.

Disela lamunannya itu, terlihat seorang laki-laki yang tiba-tiba saja datang menghampirinya. "Oi! Diem, diem aja, masih pagi loh!" Ucap laki-laki itu kepada Zee.

Zee tidak mengenali orang itu, tetapi Zee sering sekali melihat wajahnya.

"Gue Lino, temen Hafiz. Lo pasti tau 'kan ya muka gue? Btw nama lo siapa? Lo temennya Asa 'kan?" Laki-laki itu adalah Lino. Lino mencoba mengajak berkenalan seorang Zee.

Zee hanya menyipitkan matanya, seolah bertanya. Siapa nih orang? SKSd banget. Batinnya dalam hati.

"Kepo," jawab Zee dengan singkat.

"Oh nama lo kepo? Haloo, salam kenal ya Teh Kepo," ucap Lino membuat Zee secara spontan melirik ke arahnya lagi.

Zee masih tak menggubris, sosok Zee sedari dulu memang terkenal tidak terlalu akrab dengan orang-orang selain di luar anak kelasnya.

"Lo tuh udah manis, jadi jangan dingin gini dong! Nanti manisnya kalah sama es buah loh!" Lawakan itu dengan spontan membuat Zee sedikit tersenyum. Menertawakan ucapan Lino itu.

"Iya iya, kenapa lo nyamperin gue? Ada perlu?" tanya Zee kepada Lino yang akhirnya menggubris sosok Lino.

"Nah gitu dong! Enggak juga sih hehe, perlunya kenalan doang sama lo." Lino terus menggombali Zee, itulah kemampuannya.

"Ya terserah lo deh," Zee tak menanggapi.

"Eh btw, Lo kenapa gak ikut ke dalem aja?" tanya Lino kepada Zee.

"Lo emang boleh ke dalem sama si Hafiz?" tanya Zee. ''Gak juga sih, hehe." Lino menjawab sembari meringis.

"Nah tuh lo tau jawabannya," tutur Zee.

"Eh btw gue boleh nanya sesuatu ke lo gak?" Lino terus berusaha mencari topik. Zee menjawab, tetapi tatapan Zee masih terus menatap ponselnya. "Nanya apaan?" jawabnya.

"Gue punya pantun,"

"Pak Ujang pergi ke Balikpapan beli teh, nomor teleponnya kosong delapan berapa Teh??" semburan gombalannya khasnya itupun akhirnya keluar, dengan pantun andalannya Lino mencari kesempatan untuk mendapatkan nomor handphone Zee.

Zee melirik Lino dengan menaikkan sebelah alisnya. "Pak Ujang ngasih uang ke tukang, emang harus saya kasih ya Kang?" balas Zee. Lino yang mendengar ucapan Zee tersebut tertawa terbahak-bahak, tidak menyangka Zee akan membalas pantunnya itu.

"Keren, keren! Jago juga lo." Lino menggerakkan tangannya memberi tepuk tangan kepada pantun yang diucapkan Zee tersebut.

"Jadi? Gimana? Masa gak mau ngasih sih nomor lo?" tanya Lino kembali, dengan menaikkan turunkan sebelah alisnya, tak lupa juga memberi senyuman buayanya.

Jangan mau Zee bocah buaya dia! Celetuk seseorang dari belakang mereka berdua. Sontak mereka berdua melirik ke arah sumber suara.

Lino langsung memutar bola matanya, saat melihat sosok Hafiz yang sudah keluar dari ruangan.

"Aduh akhirnya untung lo dateng, bagus deh selamatin gue dari buayanya." Cetus Zee kepada Hafiz, tetapi jelas Lino sangat mendengarnya.

"Dasar kalian berdua ngomong kok gak dijaga gitu sih,  bikin hati gue sakit, gak pernah sekolah ya kalian?" Lino seakan-akan menjadi manusia paling tersakiti.

"Udah ah, gak usah berulah lo, No!" tutur Hafiz.

Zee hanya tertawa, menertawakan Lino yang sedang dimarahi oleh Hafiz itu. Sepertinya memang sudah biasa Hafiz melihat sifat aneh Lino.

"Eh Asa mana Fiz?" Zee menanyakan Asa, karena tidak melihat Asa keluar dari ruangan.

"Eh itu, bentar lagi juga keluar, lagi ngisi laporannya. Yaudah gue duluan ya Zee?" ucap Hafiz.

"Oh iya Fiz, gapapaa."

Hafiz menarik sabuk Lino, seperti anak kambing. "Ayo cepetan, gak usah gombal mulu lu!" Lino hanya pasrah.

"Dadah, Teh kepo! Nanti gue hubungin lo lagi ya!" teriak Lino dari kejauhan. Membalikkan badannya,berjalan mundur, karena sabuknya itu ditarik oleh Hafiz.

Asa hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap Lino.

"Eh lo masih disini Ze?" Zee menoleh, yang dimana sudah terdapat Asa yang telah keluar dari ruangan piket.

"Iya nih! Lama banget gue nunggu lo tau!" keluh Zee menunggu lama sekali wawancara yang dilakukan temannya itu. Dan Asa hanya tertawa kecil melihat temannya yang menunggu lama.

Mengikut Hafiz dan Lino, mereka berdua pun langsung menuju kelas. Karena hampir satu jam mereka melewati jam pelajaran setelah istirahat.

______

Di dalam kelas itu terlihat anak laki-laki yang sedang melamun menatap ke arah luar jendela kelas. Dahinya sedikit berkerut, seperti sedang memikirkan hal berat.

"No! Al!" panggil Hafiz dengan menggerakkan meja membuat kedua temannya itu sedikit terkejut. "Anjir? Bisa gak sih gak usah segala mukul meja!" sahut Lino kesal karena Hafiz menggangu tidur siangnya itu. Wajah Lino masih menempel dengan mejanya.

"Sorry sorry hehe!"

"Kenapa lu? Dapet hilal ya Pis??" sahut Alfa kepada Hafiz.

"Gue kayaknya harus ke rumah keluarganya Rizki beneran deh," ucap  Hafiz membuat Lino yang masih setengah sadar itu langsung terbangun dari tidurnya.

"HAH? SERIUS LO?!" ucap Lino.

"Iya anjir, serius? Emang mereka mau nerima lo nanti?" Alfa tidak yakin rencana hafiz itu terealisasikan.

"Gak tau juga sih, ya coba aja dulu." Hafiz berusaha bersikap positif bahwa kunjungannya nanti akan diterima oleh keluarga Rizki.

Seperti yang Asa katakan, bahwa Hafiz memiliki sifat ambisi yang sangat besar. Rasa penasaran akan keberhasilan sesuatu selalu ada di dalam dirinya. Hafiz tidak akan menyerah jika hal itu memang benar-benar tidak bisa ia temukan. Tidak salah jika Bu Nayla memilih Hafiz menjadi ketua mading di angkatannya itu.

Sedangkan Hafiz mendapatkan partner seperti Asa, sosok perempuan yang tidak mempunyai rasa penasaran tinggi. Apapun yang terjadi di kehidupannya, selagi itu tidak mengganggu hidupnya, Asa tidak akan ikut penasaran dengan hal itu.

••••••

Bismillahirrahmanirrahim, semoga cerita ini banyak yang suka! Happy reading semuanya, I hope u like it!🤍

- Al

If I'am?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang