16. Rumah Hafiz

6 0 0
                                    

"Semua hal yang ditutupi pasti akan terungkap."

~~~~~

Asa dan Hafiz sudah berada di teras kembali. Duduk bersampingan di kursi teras. Menatap ke arah luar rumahnya itu hujan masih turun dengan deras, padahal jam sudah menunjukan pukul 17.35.

"Kalau masih hujan terus, lo gue anterin balik aja kali ya?" ucap Hafiz. Asa menoleh lalu menjawab, "Ya enggak dong,motor gue nanti nasibnya gimana?" pikirnya.

"Besok Senin, gue bawa motor lo buat berangkat, gue ke rumah lo dulu. Gimana? Dari pada ujannya gak reda-reda, makin kemaleman nanti lo baliknya." Hafiz mengkhawatirkan Asa, hujannya itu tak kunjung mereda. Hafiz khawatir jika Asa harus pulang tengah malam dengan kondisi sehabis hujan.

Asa memainkan mulut dan matanya, memikirkan dirinya harus menerima penawaran Hafiz itu atau tidak.

"Yah gue ngerepotin lo dong nanti?"

"Ya gak lah, dari pada gue harus liat lo pulang sendirian tengah malem gini nanti? Siapa yang gak khawatir?" ucap Hafiz. Seperti layaknya laki-laki yang lainnya, pasti mengkhawatirkan seorang perempuan jika pergi sendirian dalam kondisi tengah malam saat hujan.

"Yaudah, liat dulu nanti. Kalau sampai jam tujuh nanti masih hujan, yaudah lo anterin gue nanti," jawab Asa memutuskan keputusannya itu.

Hafiz hanya mengacungkan kedua jempolnya dengan berkata, "Sipp."  Ucapnya.

"Oh ya btw lo belum cerita soal mama loh waktu itu? Sakit apa mama lo?" tanya Hafiz seketika mengingat saat pertemuan tidak sengajanya itu di poli jiwa Minggu lalu.

"Ah iya hehe, gue belum cerita ya?" dengan cepat hafiz menggelengkan kepalanya.

"Mama gue sakit Alzheimer-" Sontak Hafiz terkejut, padahal Asa belum melanjutkan ucapannya. "Hah sumpah? Mama lo emang umur berapa, Bel??" tanya Hafiz mendengar penyakit yang di derita mama dari temannya itu.

"Masih 40 tahunan, iya keturunan sama faktor lingkungan katanya sih,"

"Iya gue juga kaget dengernya, terus gimana keadaannya Bel?" Hafiz mengkhawatirkan.

Asa menceritakan pertama kalinya ke Hafiz mengenai kondisi mamanya itu. Bahwa mamanya telah mengidap Alzheimer sejak dulu, Asa baru mengetahui dan menyadarinya sejak kelas dua SMP, saat Asa melihat perilaku aneh yang mamanya itu lakukan.

Saat dirinya menginjak kelas tiga SMP, dan memasuki jenjang SMA. Mamanya itu semakin parah, Asa harus mengurusi semuanya dikarenakan dirinya tidak memilki saudara kandung lainnya. Asa adalah anak satu-satunya yang kedua orang tuanya tunggu sejak lama.

"Terus Papa lo dimana Bel? Kerja?" tanya Hafiz mendengar hampir semua urusan mamanya itu dia yang lakukan.

"Papa udah meninggal, Fiz."

Hafiz mendengar hal tersebut langsung diam tak berkutik, dirinya tidak pernah mengetahui bahwa ayah dari temannya itu sudah tiada. Selama ini, tiga tahun mereka saling mengenal satu sama lain, Hafiz tak pernah mendengar kabar perihal hal ini.

"Ah, sorry gue gak tau Bel. Turut berduka ya, walaupun gue juga gak tau kapan papa lo pergi, tapi lo kuat, lo keren banget! Gue salut punya temen sekeren lo!" Ucap Hafiz berusaha menyemangati Asa. Asa mengetahui ini memang sifat Hafiz sifatnya yang selalu mengapresiasi dan memberi semangat teman-temannya.

Asa tersenyum, "Iyaa Fiz makasih ya, papa udah gak ada dari gue lulus SMP Fiz," jawabnya. Senyumannya berubah menjadi masam, ingatannya kala itu lagi-lagi teringat. Saat beberapa bulan sebelum masuk sekolah, Asa harus kehilangan sosok papanya itu.

"Maaf kalau gue lancang, terus biaya hidup lo sama mama lo? Gimana Bel?" tanya Hafiz, jika papanya itu sudah tiada dan mamanya itu mengidap penyakit alzheimer, Hafiz mulai penasaran dengan biaya kehidupan yang Asa dengan mamanya itu.

"Gue hidup ya dari ngandelin dari pensiunan ayah, gue juga kerja kecil-kecilan sih Fiz, Alhamdulillah cukup-cukup aja sejauh ini," Asa menceritakan bagaimana dirinya bisa bertahan hidup.

Hafiz menatap lekat mata Asa, tidak menyangka anak malang seperti Asa ini harus memikul beban di usianya yang masih remaja.

"Lo kerja? Lo kerja kapan Bel? Kan lo juga sibuk sama sekolah dan kegiatan lo?" Hafiz bertanya, walaupun sepertinya sedikit tidak sopan menanyakan hal tersebut.

"Gue jadi penulis artikel gitu Fiz, ngirim ngirim artikel dan buat beberapa artikel berita, ikut kerja sama bareng salah satu liputan." Asa menjelaskan perkejaan sampingan yang ia lakukan. Dirinya pun tidak pernah memberitahu siapa-siapa mengenai hal ini. Asa mendapatkan cukup uang untuk membiayai hidupnya dan mamanya dengan uang penghasilannya ini.

Lagi lagi hafiz dibuat terkejut dengan Asa, tidak terhitung sudah berapa banyak Asa membuat seorang Hafiz itu terkejut berulang kalinya.

"wah gila, kayaknya lo suka banget buat hidup orang kaget Bel! Lagi lagi kata hebat buat lo aja gak cukup! Gue salut banget sama lo," puji Hafiz dengan tatapan dan senyuman bangganya itu. Asa atidak menyangka akan respon Hafiz yang seperti ini, Asa mengira Hafiz akan menampilkan ekspresi menyedihkan dirinya.

"Sekecil ini aja lo udah bisa dapet kerjaan yang keren! Gimana nanti pas udah gede ya? Kayaknya lo bakal jadi artis!!" ucap Hafiz mengarang dengan perkataannya itu.

"Gak ya, siapa juga yang mau jadi artis! Eh btw hujannya beneran gak reda anjir!" wajah Asa menatap ke arah langit, hujan masih sangat deras, tidak sedikitpun mereda.

"Nah kan! Emang lo gak ditakdirin buat bawa motor, yaudah ayo sekarang aja gue anter lo," sahut Hafiz. Ia mengajak Asa untuk diantarkan pulang ke rumahnya.

"Yaudah iya, sorry ya jadi ngerepotin lo." Asa merasa tidak enak karena Hafiz harus mengantarkannya untuk pulang.

"Santai, kayak sama siapa aja lo." Jawab Hafiz dengan singkat, hafiz beranjak dari duduknya untuk mengambil kunci mobil. Dirinya itu sudah memiliki SIM sejak tahun lalu berumur 27 tahun, ia sudah bisa mengendarai mobil sejak menginjak kelas satu SMA.

Saat sudah siap dengan kunci mobilnya, Hafiz menyuruh Asa untuk masuk ke dalam mobil lebih dulu.

"Btw nanti pagi berarti lo ke rumah gue? Atau kalau gak gue aja ya yang ke rumah lo?" sahut Asa menanyakan nasib motornya itu.

"Gue aja, iya pagi gue ke rumah lo sekalian ke sekolah, baliknya gue bisa bareng temen, santaii Bel!" ucap Hafiz menenangkan Asa, agar Asa tidak merasa keberatan lagi.

"Hehe oke deh, thanks ya, sekali lagii." Hafiz hanya mengangguk lalu Asa langsung masuk ke dalam mobil itu sesuai perintah Hafiz tadi.

_______

Tanpa waktu yang lama, di perjalanan pulang tadi tidak terlalu ramai, menyebabkan mereka lebih cepat sampai tepat di depan rumah Asa. Walaupun hujan terus turun dengan deras tanpa henti. Hafiz pertama kalinya mengantarkan Asa dan pertama kalinya mengetahui alamat rumah Asa.

"Thanks ya, salam makasih ke Ibu lo, anaknya udah nganterin gue," ucap Asa sebelum dirinya turun dari mobil.

Hafiz tertawa, "Sip! gue salamin!" Sahutnya. "Eh lo pake payung aja nih, basah." Tambah Hafiz memberikan payung kepada Asa. Tetapi Asa menggelengkan kepalanya, "Gak usah, gue lari aja. Gue duluan ya, lo hati-hati." Ucapnya lalu langsung membuka pintu mobil dan berlari ke depan teras rumahnya itu.

Hafiz hanya melambaikan tangan berpamitan kepada Asa, dan Asa hanya membalas lambaian tangan tersebut sembari melihat mobil Hafiz Asa melaju pergi menjauhi keberadaannya.

••••••

Bismillahirrahmanirrahim, semoga cerita ini banyak yang suka! Happy reading semuanya, I hope u like it!🤍

- Al

If I'am?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang