17. Melupakannya

2 0 0
                                    

Asa sudah berada di depan cermin kesayangannya itu, dengan baju seragam putih abu yang sudah rapih. Rambutnya dibiarkan terurai dengan dua buah jepitan pita cantik di rambut atasnya.

Mengingat kejadian semalam, Asa tidak menyangka akan berani menceritakan dengan detail mengenai keluarganya kepada Hafiz kemarin. Tetapi Asa merasa nyaman saat menceritakannya kepada Hafiz, karena tanggapan Hafiz itu tidak buruk seperti apa yang ada dalam bayangan Asa. Melainkan Hafiz tidak menanggapinya dengan kesedihan, sehingga tidak membuat Asa semakin merasa larut dalam kesedihannya itu.

Kini hari ini, sesuai dengan rencana kemarin, bahwa Hafiz akan membawa motor Asa lalu berangkat bersama menggunakan motornya. Asa menunggu di luar rumah selepas dirinya menyiapkan semua sarapan dan obat untuk mamanya nanti saat bangun dari tidurnya.

______

Saat di parkiran Asa sampai di waktu yang lebih pagi dari biasanya ia berangkat sekolah. Asa melihat seorang Zee yang juga baru saja datang, tetapi tawa Asa itu muncul saat melihat temannya sudah dibuntuti oleh Lino teman dari Hafiz itu.

"Fiz liat deh, lucu banget itu temen lo ngikutin si Ze." Asa memanggil Hafiz yang masih sibuk merapihkan rambutnya. Hafiz tertawa saat melihat arah yang ditunjuk Asa, "Anjir emang tuh anak, buaya." Jawabnya saat melihat hal itu.

Tak lama berbasa-basi, mereka masuk ke area sekolah. Berpisah di beberapa lorong karena kelas mereka tidak searah.

"Demi pertemanan yang lebih baik loh, masa lo masih gak mau ngasih nomor lo Ze??"

"Demi kebaikan yang baik juga, enggak ya..."

Asa yang juga baru saja sampai di depan kelasnya itu hanya menggelengkan kepalanya, Asa tahu sikap Lino itu hanya untuk berbasa-basi agar bisa berbicara dengan Zee. Padahal sekedar nomor WhatsApp di jaman sekarang tidak harus meminta kepada orangnya langsung, lewat teman pun sudah bisa mendapatkan nomornya, pastinya.

"Dasarr, bisa aja lo basa-basi buat ngobrolnya No." Sahut Asa melewati mereka berdua yang berada tepat di depan pintu.

"Hehehe, eh Asa baru dateng juga lo." Lino menyauti ucapan Asa itu. Mengikuti Asa, Zee membuntuti dirinya yang ikut masuk ke dalam kelas meninggalkan Lino seorang diri di depan kelasnya itu.

"Zee, nanti kalah gue chat jangan lupa bales ya!" Lino meneriaki Zee yang meninggalkannya begitu saja.

"Apa sih, kenapa dia malah jadi ngejar gue!" Zee merasa tidak nyaman karena Lino selalu menganggunya.

Asa hanya tertawa, "Ya, namanya orang mau kenalan Ze." Jawab Asa itu kepada Zee.

"Dia banyak ceweknya!"

"Tapi dia gak pernah ngejar ngejar kayak tadi loh? Gue baru liat dia deketin cewek kayak tadi." Alih-alih Asa berpihak kepada Lino.

Zee hanya memutarkan bola matanya itu malas mendengar ucapan temannya yang sama sekali tidak berpihak kepadanya.

Melihat Zee merajuk Asa hanya tertawa, jarang sekali melihat Zee seperti itu.

_______

Selepas pulang sekolah, Asa melihat di depan rumahnya itu sudah terpampang sebuah mobil Fortuner hitam. Ia melepaskan helmnya untuk melihat siapa yang datang, karena mobil tersebut menghalangi gerbang masuk motornya.

Asa mengerutkan dahinya saat melihat orang yang berada di depan rumahnya itu. Orang itu beranjak dari duduknya lalu menatap ke arah Asa. Ia menghampiri Asa yang masih memegangi helm berada di luar gerbang rumah.

Asa menarik napasnya, "Ada apa Om dateng kesini?" tanyanya lebih awal dari orang di depannya itu.

Sosok pria tua berbadan tinggi besar dengan jas hitamnya, pria tersebut yang kini berada di hadapan Asa. Pria itu tersenyum lalu menjawab, "Boleh saya ngobrol di dalem rumah kamu? Kalau bisa sekalian sama ibu kamu." Ucapnya bernegosiasi dengan Asa untuk berbicara di dalam rumahnya.

Tidak banyak bertanya, Asa langsung memepersillahkan pria itu masuk ke dalam untuk duduk di kursi ruang tamunya.

"Kenapa Pak? Apa ada yang maul ditanyain soal Rizki anak Bapak?" tanya Asa kepada pria tersebut, pria itu adalah ayah dari seorang Rizki.

"Enggak. Kayaknya kamu juga pasti ingat saya 'kan? Saya teman ayahmu dulu." Asa hanya terus menatap mata coklat milik Riza itu, sedari awal Asa datang ke rumah Rizki, Asa sudah sangat mengenali wajah kedua orang tuanya itu.

"Iya terus? Ada perlu apa Pak?"

"Saya mau membayar sesuatu yang saya belum bayar semasa ayahmu hidup dulu, saya titip untuk kamu dan ibumu saja ya?" ucap Riza kepada Asa sembari memberikan selembar cek bank dengan nominal uang lima ratus juta.

"Sisanya saya mau minta nomor rekening kamu, biar saya transferkan."

Asa menyodorkan kembali kertas itu, "Saya udah gak butuh, gak usah, terimakasih." Tolaknya.

Riza dan ayahnya dulu adalah teman dekat, Asa pun mengetahui bahwa Rizki itu anak dari seorang teman dekat ayahnya dulu. Saat dulu, Riza mempunyai hutang kepada ayahnya. Asa pun mengetahui hal tersebut. Tetapi kini Asa menolak, sesuatu terjadi dalam hidupnya, menyebabkan dirinya sudah tak membutuhkan uang itu lagi.

"Kenapa?" tanya Riza melihat cek bank tersebut ditolak oleh Asa.

"Papa udah gak ada, kebutuhan kami juga udah cukup. Kayaknya uangnya lebih baik di sumbangkan ke yang lebih membutuhkan aja Pak, pesan dari ayah begitu waktu beliau sebelum pergi." Asa menjelaskan pesan papanya itu mengenai uang tersebut. Di dalam surat yang di berikan kepada Asa sebelum papanya meninggal, terdapat pesan mengenai hutang temannya itu.

Beberapa kalimat dari surat tersebut menyatakan:

"Kalau nanti kamu sudah besar, dan terjadi apa-apa dengan ayah. Hutang dua miliar yang teman ayah pinjam waktu dulu, kalau dia ngasih kamu suatu saat, dan kamu sudah berkecukupan, tolong kasih semua uang itu ke orang yang lebih membutuhkan. Tapi, kalau kamu masih sangat kekurangan, pakai uang itu untuk kebutuhanmu dan mama, ya, bahagia selalu ya Nak, Bella anakku."

Papanya itu sempat memberikan surat tersebut kepada Asa, sebelum dirinya benar-benar dinyatakan meninggal dunia. Sampai saat ini bahkan suratnya masih ada, hidup Asa sudah berkecukupan bagi dirinya dan mamanya. Ia hanya ingin menepati janjinya dengan isi surat ayahnya itu.

"Oke, baik kalau begitu. Nanti saya sumbangkan ya berarti semua uang ini?" tanya Riza memastikan. Wajah Riza sebenarnya sangat terkejut dan seperti kebingungan saat melihat tanggapan Asa menolak uang dengan jumlah banyak tersebut.

"Iya Pak, nanti Bapak kirimkan bukti aja ya, Pak, makasih sebelumnya." Asa mengucapkan terimakasih karena sudah mengikuti permintaannya.

Setelah menyelesaikan keperluannya itu, Riza pamit kepada Asa, "Jangan mempermasalahkan masalah ini makin panjang lagi ya." Riza mengucapkan kalimat tersebut saat dirinya beranjak masuk ke dalam mobilnya itu.

Asa tidak menjawab dan hanya diam mematung, terus menatap kepergian mobil Riza, memastikan mobil tersebut itu pergi menjauhi rumahnya.

Asa masuk ke dalam kamarnya berminat membersihkan diri. Kedatangan Riza tadi membuat sebuah kenangan lamanya itu terasa terbuka kembali, Asa mengingat disaat papanya itu memberikan sebuah surat kepadanya. Surat yang sampai hari ini hanya berisikan kenangan dan derai air mata saat ia membacanya.

Semenjak kemarin, Asa mulai untuk berusaha melupakan hal-hal menyedihkan yang terjadi di hidupnya itu. Ia hanya ingin menikmati sisa hidup bahagia di dunianya in, tanpa harus memikirkan lagi hal yang sudah berlalu dan hanya membuatnya merasa tidak nyaman nantinya. Asa ingin menjadi diri yang lebih baik lagi, menjadi sosok yang tidak gampang menangis lagi seperti sebelumnya, mungkin ini saatnya melupakan kepergian papanya itu.

••••••

Bismillahirrahmanirrahim, semoga cerita ini banyak yang suka! Happy reading semuanya, I hope u like it!🤍

- Al

If I'am?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang