"Apapun kesalahan anaknya, semua orang tua pasti membela mereka."
~~~~
Berbeda dengan Sofia. Suaminya itu berkata jujur, memang dia tidak terlalu dekat dengan anaknya. Dibandingkan hubungan anaknya Rizki dengan ibunya itu, ucapnya.
Riza----Ayah dari seorang Rizki. Riza mengaku bahwa dirinya memang tidak dekat dengan Rizki, interaksinya itu hanya berlaku saat makan bersama ataupun saat Rizki mendapatkan prestasi saja. Ia terkesan tidak ada waktu dengan anak-anaknya, jadwal kerjanya cukup padat dari akhir tahun-tahun belakangan kemarin.
"Terus apa alasan Bapak buat mencabut kasus Rizki untuk diselesaikan Pak?" tanya Hafiz kepada Riza. Hafiz penasaran bagaimana jawabannya, atas pernyataannya itu.
"Bukannya jelas-jelas disitu ada yang mengaku sebagai korban perundungan anak saya ya? Apa saya harus rela anak saya kena kasus sebagai seorang perundung? Hanya demi hasil kematian anak saya?" Riza menjawab, jawabannya itu cukup relevan untuk setara dengan perlindungan seorang ayah kepada sang anak.
Hafiz manggut mencoba memahami, tetapi berbeda dengan Asa. Asa menyeletukan ucapan, "Terus bagi Bapak, keadilan atas kematian anak Bapak itu tidak penting?" tanyanya kepada Riza. Sedari tadi Asa ingin melontarkan pernyataannya tersebut. Saat Sofia menyatakan alasan, Asa sebenarnya ingin melontarkan kalimat itu. Tetapi melihat Sofia yang terus menangis, Asa berusaha menahan untuk tidak melakukannya.
Riza terdiam, bibirnya bergetar, matanya terus mengulang kedipan berulang kali. Terlihat dari wajahnya itu, Riza terkejut dan merasa bingung harus menjawab dengan pernyataan seperti apa, agar mereka berdua mempercayai ucapannya.
"Kematian itu mutlak. Kalau memang sudah takdir, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Tanya keadilan? Saya jelas pasti ingin mendapatkan keadilan untuk anak saya, tetapi saya juga tidak rela anak saya di cap sebagai anak yang buruk di kondisinya yang sudah tiada." Riza melontarkan kalimat yang cukup panjang. Asa tidak heran dengan seluruh harta yang Riza miliki itu, karena Riza sangat cerdas dalam berbicara. Walaupun Riza terkesan memikirkan jawabannya cukup lama terlebih dahulu.
"Masuk akal." Celetuk Asa secara spontan. Dengan mata terbelalak Hafiz menengok ke arah Asa, terkejut dengan ucapan temannya itu.
"Apa saya sudah boleh pergi?" tanya Riza. Merasa wawancara ini sudah tidak lagi ada pertanyaan.
"Ah iya Pak, sepertinya sudah cukup. Terimakasih ya Pak, atas pernyataan jujur Bapak, semoga sehat selalu." Ucap Hafiz. Riza hanya mengangguk dengan muka datar dan beranjak pergi dari sofa tersebut.
"Bel, lo gila?! Ngomong kayak gitu?" ucap Hafiz kepada Asa.
"Udah diem." Jawabnya dengan singkat.
Wawancara terakhir mereka adalah dari seorang kakak perempuan Rizki. Bernama Rizka, jarak usianya hanya berbeda 3 tahun lebih tua dari Rizki.
Asa sebetulnya juga baru mengetahui bahwa Rizki memiliki seorang saudara perempuan, Asa mengira Rizki adalah anak semata wayang kedua orang tuanya.
Seperti wawancara sebelumnya, Hafiz yang memulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu. Hafiz berharap di wawancara terakhirnya ini memberikan informasi yang berbeda dari kedua orang tua Rizki tadi.
"Gue, Rizki, gak ada yang deket sama bokap, nyokap. Jadi lo berdua gak usah percaya sama pernyataan mereka kalau kita deket." Ucap Rizka memberikan pernyataan lebih dulu.
Rizka menjelaskan dan menjawab pertanyaan Hafiz dengan detail dan cepat. Tidak seperti ayahnya itu.
Rizka menjelaskan bahwa Rizki memang memiliki sifat empati yang tinggi, tetapi itu dulu, saat sebelum Rizki memasuki jenjang SMA. Tetapi yang ia ketahui, Rizki memang berubah. Sifatnya yang dulu selalu bersikap baik dengan orang lain, kini hanya bersikap baik kepada teman-teman dekatnya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I'am?
Fiksi RemajaIf I'am? Menjadi bagian siswa yang di tugaskan menangani kasus sekolahnya sendiri memang tidak terlalu buruk, hanya saja tidak pernah mereka bayangkan yang terjadi dengan kasusnya kali ini. Asabella Cassia, ditemani dengan seorang anak laki-laki yan...