41. Permulaan

370 95 8
                                    

"Kayaknya aku mau beli rumah deh, Yang."

Jihoon yang awalnya asik ndusel dengan Golden si kucing oren seketika menoleh pada Seira. "Om Jidi ngusir kamu dari apartemen?" tanyanya menatap Sei yang masih sibuk dengan berbagai laporan di meja kerjanya.

Tatapan mata Seira yang awalannya fokus pada layar laptop pun seketika mendongak, menatap pada Jihoon yang masih asik tiduran di sofa ruang kerjanya. "Bukan gituuu," rengeknya dengan gemas, "cuma pingin aja, Yaang."

"Yang, kalo alasannya cuma pingin aja minimal mau beli Chatime atau soto mie," ucapnya tak kalah gemas, "kalo beli rumah itu bukan cuma, Sayaaang."

Tak lagi peduli dengan notulensi meeting mengenai beberapa anak perusahaan W Corp, Seira memilih untuk beranjak dan bergabung dengan Jihoon di sofa. "Ada yang jual cepat, Yang," jelasnya berusaha membujuk Jihoon.

"Emang kamu berani tinggal di rumah sendirian?"

"Kan sama kamu?"

Jihoon yang awalnya masih tiduran jelas langsung beranjak dan duduk menghadap Seira yang berada di sampingnya. "Yang ada kita digerebek warga, Sayang," ucapnya dengan gemas.

"Nggak akan, orang itu kompleks perumahan, mereka nggak akan ngurusin tetangga, Yang."

"Lah, tetangga aku kok resek ya?" gumamnya dan tentu saja mendapatkan toyoran dari Seira. Lagian tetangga Jihoon itu sudah pasti para sepupunya. Dan yang menjadi tetangga resek itu sebenarnya Park Jihoon.

Seira hanya bisa memutar bola matanya, "Boleh ya, Yang? Mumpung ada yang jual cepet, terus siap huni."

"Emang yang jual siapa?" tanya Jihoon akhirnya bertingkah serius. "Kok sampe jual cepet gitu? Takutnya bekas orang bunuh diri, Yang."

"Ih, bukan, kok! Ini rumah temen aku, dia gagal nikah, terus biar bisa move on, jadinya jual itu rumah."

Jihoon mode serius seketika sirna, memang dasar anaknya banyak drama, jadi sulit untuk waras. "Ih, Yang. Itu rumah pasti kena kutukan!" ucapnya dengan penuh penekanan. "Jangan, ah! Nanti kita juga kena. Yang kayak gitu suka nyari tumbal tau."

Mulut Seira seketika terbuka, "Nggak akan," balasnya dengan percaya diri, "rumahnya bagus tau, Yang. Lokasinya juga strategis, deket sama sirkuit drifiting kamu. Boleh yaaa ...." Mata bulat Seira berbibar sempurna, kedua tangannya bahkan saling bertautan dan terkepal di depan dagu.

Permintaan Seira dengan ekspresi normal saja Jihoon kadang tak sanggup untuk menolak, apalagi dengan tatapan berbinar. "Kamu dalam rangka apa beli rumah? Aneh banget tiba-tiba mau beli rumah."

Bibir bawah Seira sedikit maju, ia masih ragu untuk menceritakan tujuannya membeli rumah. Tapi kalau dia nggak cerita, makin susah dapet izinnya. "Aku dapet PR dari psikiater," ceritanya dengan nada sangat pelan, namun Jihoon masih dapat mendengarnya. 

"PR apa? Biasanya juga disuruh journaling di buku dairy, ini kenapa tiba-tiba PR beli rumah? Psikiater kamu rangkap jabatan jadi developer?"

Seira berdecak sebal, jelas Jihoon tak langsung percaya dengan penjelasan tipisnya. Ragu masih mendominasi Seira untuk menjelaskan apa yang sedang ia lakukan. "Pokoknya PR aja, Yang," sahutnya dan setelah itu beranjak dari sofa dan kembali ke meja kerjanya. 

"Kamu ke psikiater tuh sehari setelah dari glamping, kan?" 

"Sebelum ke glamping juga aku ke sana dulu," jelas Seira yang sudah kembali fokus pada berkas laporan. "Tapi, pas abis dari glamping juga besoknya aku ke sana lagi, sih."

Jihoon mengubah posisinya menjadi fokus menghadap pada Seira. "Seminggu dua kali? Kenapa kamu sesering itu ke psikiater? Akhir-akhir ini sering kambuh? Kok nggak bilang ke aku?"

FAKE FIANCE [Jihoon-Sei]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang