***
srak srak srak
Suara lembaran kertas yang dibuka memenuhi ruangan dimana pria muda itu berada. Ruangan remang-remang yang cahayanya hanya berasal dari celah gorden transparan. Membuat ruangan yang dipenuhi dengan buku dan asrip itu tampak begitu suram.
Namun berbanding terbalik dengan ruangannya, pria muda yang berada disana tampak begitu indah akibat cahaya jingga yang berasal dari jendela dibelakangnya. Pria berambut putih itu masih begitu fokus memperhatikan lembaran kertas dengan mata merah permatanya. Setelah ia menemukan akhir dari tumpukan kertasnya itu, ia pun sadar bahwa bayangan tubuhnya kini sudah menutupi meja kerja sepenuhnya. Itu berarti tanda bahwa ia sudah harus menghentikan rutinitas kerjanya hari ini.
"Glenn, kau sudah menyiapkan kamar untuk para tamuku?" tanya Carlisle pada pria seusia yang merupakan sekretaris pribadinya.
"Sudah tuan," jawab Glen singkat dan dibalas anggukan oleh tuannya.
"Aku akan kembali kekamarku jadi kau sudah bisa istirahat, terimakasih untuk hari ini."
Setelah mengatakan itu, Glenn pun membungkukkan badan dan beranjak pergi. Begitu juga dengan Carlisle yang kini sedang berjalan menuju kamarnya. Ia berjalan dengan matanya yang memperhatikan sekitar. Sesekali menyapa para pelayan yang tanpa sengaja berpapasan dengannya. Berkat sikapnya itu, Carlisle selalu dipandang baik oleh setiap pekerjanya. Namun tentu saja ia tetap akan bersikap tegas pada siapapun yang telah lalai dalam pekejaannya.
Lalu dipertengahan jalan, tanpa sengaja matanya menangkap sosok sang ibunda yang sedang berjalan kearah yang berlawanan. Carlisle mempercepat langkahnya untuk menyapa sang ibunda.
"Anda sudah akan kembali kekamar, ibu?" tanya Carlisle lembut.
"Tidak tuan, saya harus singgah keruang kerja saya terlebih dahulu karena ada sesuatu yang harus saya urus disana," jawab Giselle penuh sopan.
Jika kalian merasa ini aneh, percayalah, ini tidak aneh sama sekali. Karena pada dasarnya Carlisle kini adalah sang kepala keluarga Alvonheim. Sedangkan Giselle adalah nyonya sebelumnya. Karena itu Giselle tetap harus bersikap sopan meski Carlisle adalah putranya sendiri.
"Oh iya, Isle. Putri dan yang lain sepertinya masih berada di gazebo dekat taman mawar. Anda pasti sudah menyiapkan kamar untuk mereka, jadi bukankah sebaiknya anda mengantarkan mereka ke kamarnya?" ucap Giselle seraya tersenyum yang tidak tampak seperti senyum tulus dimata Carlisle.
Balik lagi, meski status mereka sekarang adalah kepala keluarga dan nyonya terdahulu. Tetap saja itu tidak akan memutus hubungan ibu dan anak diantara mereka.
"Tentu saja saya akan mengantarkan mereka langsung kekamarnya, ibu." Carlisle menjawab seraya memaksakan senyumnya. Karena sejujurnya ia tidak ingin bertemu lagi dengan putri berambut hitam itu.
"Baguslah jika begitu. Dan ada satu lagi yang harus saya beritahukan...," ucap Giselle dengan suaranya yang perlahan melirih. Dan tatapan matanya berubah sendu.
"Saya harap anda dapat memperlakukan Putri dengan baik. Karena sepertinya beliau memiliki masa-masa yang buruk di negara asalnya."
.
.
Carlisle dan Giselle pun berpisah. Kini pria berambut putih itu sedang dalam perjalanannya menuju gazebo dekat taman mawar. Ia masih memikirkan tentang apa yang ibunya katakan sebelum mereka berpisah tadi. "Mohon bersikap baiklah kepada putri, sepertinya ia mengalami masa-masa buruk dinegara asalnya." Itulah yang ia katakan.
"Wanita itu tidak tampak seperti baru saja mengalami masa-masa buruk...," batin Carlisle tak percaya.
Tentu saja ia tidak percaya. Apalagi setelah melihat bagaimana sikap Putri yang dapat dengan lantangnya melamar dirinya tadi. Yang dapat ia pikirkan hanyalah wanita itu adalah putri manja yang pasti akan mendapatkan apapun yang ia inginkan.
Kemudian tanpa terasa akhirnya Carlisle sampai ditaman mawar. Kini ia hanya perlu berjalan sedikit lagi untuk menuju ke gazebo. Lalu ketika ia hanya perlu menempuh satu belokan lagi, sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Apa alasan anda menangis tadi, Putri?"
Carlisle dapat mengenali dengan jelas siapa pemilik suara itu. Itu adalah suara seorang pemuda yang memiliki perawakan sama persis dengannya, Kei. Sontak Carlisle menghentikan langkahnya dan justru kembali bersembunyi. Meski tidak sopan, tapi ia memilih untuk menguping pembicaraan mereka karena Carlisle juga penasaran alasan kenapa wanita bar-bar itu menangis sebelumnya.
Awalnya Carlisle menduga bahwa pasti alasan dibaliknya hanya hal konyol yang wanita itu buat-buat. Ia bahkan tersenyum miring membayangkan akan sekonyol apa alasan yang Putri berikan. Namun sekian detik hingga menit berlalu, senyum miring pada wajah Carlisle perlahan menghilang. Dan akhirnya digantikan dengan keningnya yang berkerut akibat perasaan sedih dan sesal. Ia sungguh tidak mengira bahwa Putri memiliki pengalaman seperti itu sebelumnya.
"Jadi ini yang ibu maksud tadi...?" batin Carlisle.
Seketika, Carlisle merasakan sesak pada dadanya. Ia merasa sudah menjadi orang yang gagal karena langsung menilai seseorang tanpa tau seperti apa orang itu sebenarnya. Padahal mau seburuk apapun orang, pasti ada alasan yang jelas dibalik semua tindakannya itu. Dan Carlisle sudah berpegang teguh pada pemikiran itu sejak lama, tapi sekarang ia justru mengingkarinya. Ia sungguh merasa malu akan dirinya sendiri saat ini.
Akhirnya setelah Carlisle mengintrospeksi kesalahannya, ia pun mengambil langkah maju. Pria muda itu berjalan dengan gagahnya menuju gazebo tempat Putri dan kedua pelayannya berada. Seolah mereka menyadari derap langkah Carlisle, sontak Kei dan Sandra menolehkan kepalanya ke sumber suara.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Carlisle dengan wajah datar namun suaranya terdengar lembut.
Kemunculan tiba-tiba pria itu membuat Kei dan Sandra membelalakkan mata akibat kaget. Mereka menatap lekat pria yang berjalan semakin dekat kearah mereka tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Carlisle pun berjalan mendekat dan semakin mendekat hingga akhirnya ia berdiri tepat didepan Putri yang masih setia menenggelamkan wajahnya pada bahu Sandra.
"Kenapa anda tidak menjawab saya, tuan putri?" tanya Carlisle masih dengan wajah datarnya.
"...gak mau...saya lagi jelek sekarang," ucap Putri dengan suara paraunya akibat menangis.
"Apakah itu masih penting sekarang? Setelah apa yang anda lakukan sebelumnya," sindir Carlisle perihal Putri yang tiba-tiba saja melamarnya didepan orang banyak tadi.
Tidak seperti yang Carlisle harapkan, Putri justru tidak menjawab apapun. Namun terlihat jelas wanita itu sedang berusaha mengatur napasnya dan membersihkan wajahnya dari air mata. Setelahnya, Putri langsung mengarahkan pandangannya tepat pada mata Carlisle. Ia menatap tajam mata merah permata milik pria didepannya itu.
"Kalau soal lamaran, saya benar-benar serius."
Carlisle tertegun. Ia sedikit kaget akan pernyataan wanita didepannya itu. Putri berucap dengan wajah seriusnya namun dibarengi dengan matanya yang sedikit memerah akibat menangis. Carlisle yang melihat pemandangan wajah Putri itu berpikir bahwa itu sangat lucu. Hingga membuatnya ingin sedikit menjahili wanita itu
"Kalau begitu cobalah."
"Apa..?"
"Saya bilang cobalah. Buat saya menerima lamaran anda, Tuan Putri Ariana Cecilia Elister."
.
.
.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Genius Woman Went to Another World [TERBIT]
FantasiaAriana Putri atau yang lebih dikenal sebagai Putri merupakan seorang ilmuan jenius. Seluruh barang ciptaannya membuat berbagai perubahan besar pada dunia. Lalu tanpa sepengetahuan siapa pun, Putri pun membuat sebuah alat yang dapat membuatnya pergi...