***
Di dalam rumah putih itu, setiap orangnya kini sedang berkumpul di ruang makan. Termasuk juga Putri yang belum lama ini sadar. Bahkan alasan utama mereka berkumpul di sana sekarang adalah karena wanita itu merengek minta diberi makan.
Kini Putri, Carlisle, dan juga Kei sedang duduk anteng di meja makan dengan posisi Putri duduk di antara kedua lelaki itu. Entah karena apa tapi kedua lelaki itu saling melempar tatapan tajam satu sama lain.
Sedangkan Putri? Ia sama sekali tidak peduli dengan mereka. Yang memenuhi pikirannya saat ini adalah masakan yang sedang Sandra masakan untuknya. Ia menatap punggung Sandra yang masih sibuk menata masakannya dengan mata berbinar-binar. Pasalnya sudah lebih dari dua bulan ia tidak memakan masakan gadis itu, tentu saja ia tidak sabar menantinya.
Akhirnya setelah penantian lama, Sandra membawa sepiring nasi dengan telur ceplok kecap. Memang sebuah menu yang terbilang sederhana. Tapi sepanjang hidup Putri, tidak pernah ada yang dapat membuat hidangan itu sebaik Sandra. Karena itu di saat perutnya keroncongan seperti ini ia meminta Sandra untuk membuatnya.
Putri menatap hidangan menggiurkan yang terletak di depannya itu. Sudah tak sabar ingin menyantapnya, ia pun mengangkat tangan kanannya untuk meraih sendok. Namun terhenti seketika di saat matanya melihat kondisi tangannya saat ini. Tangan kanannya itu berbalut perban hingga untuk menekuk jarinya saja ia tidak bisa. Suasana hatinya seketika berubah. Tampak matanya menjadi berkaca-kaca akibat tidak bisa menikmati makanan yang sudah ia nanti-nantikan itu. Dari sampingnya, kedua laki-laki itu menyadari perubahan suasana hati Putri.
"Bagaimana kalau saya suapi saja?" saran Kei tersenyum lembut. Kemudian dibalas dengan senyuman lebar dari Putri. "Kau mau ...?" tanya Putri hendak meyakinkan.
"Tentu saja," balas Kei.
Ia kemudian mengambil sendok dan mulai menyiapkan suapan pertama Putri. Dengan sorot mata berbinar-binar, Putri menunggu sendok itu dapat masuk ke mulutnya. Namun berbeda dengan suasana di antara kedua orang itu. Lelaki lain yang duduk di sisi lain kini sedang mengerutkan keningnya dan matanya menatap tak senang.
"Bukannya tangan kiri anda baik-baik saja, Putri?" tanya Carlisle dengan nada yang seolah sedang kesal. Mendengar itu sontak Putri menolehkan kepalanya.
"Memang benar tangan kiri saya baik-baik saja. Tapi makan dengan tangan kiri itu tidak baik, tuan," ujar Putri membuat Carlisle sedikit tersentak.
Matanya kemudian tanpa sengaja melihat Kei yang sedang tersenyum menyeringai kearahnya. Melihat itu entah mengapa Carlisle merasa geram. Apalagi ketika sendok berisi makanan itu sudah akan di suapkan ke mulut Putri. Sontak Carlisle melingkarkan lengannya pada leher Putri dan menarik tubuh wanita itu kearahnya.
Putri dan Kei tentu kaget mendapati aksi tiba-tiba dari Carlisle. Mereka sontak mengalihkan matanya ke arah pria itu menuntut penjelasan. Namun Carlisle sendiri juga tidak kalah kaget dengan apa yang ia sudah lakukan. Carlisle melakukan itu tanpa sadar akibat perasaan tak senang yang menyeliputi hatinya ketika ia melihat Kei akan menyuapi Putri.
Carlisle tidak tau harus bagaimana menjelaskan situasinya saat ini. Matanya melihat kesana kemari tuk mencari alasan. Lalu tanpa sengaja matanya bertemu dengan mata Putri yang sedang memperhatikannya. Mendapati tatapan itu, tiba-tiba satu alasan kuat yang membuatnya berbuat seperti ini akhirnya menjadi jelas dibenaknya.
"Aku yang akan menyuapi Putri."
"Aku tidak ingin ada laki-laki lain yang menyuapi Putri, apalagi tepat di depan mataku."
Suasana seketika hening. Mungkin karena mereka terlalu terkejut mendapati pernyataan mengejutkan itu keluar dari mulut Carlisle. Hingga satu katapun tak ada yang keluar dari mulut mereka. Hingga di saat Carlisle merasa begitu malu dan ingin menghilang saja dari dunia. Jawaban dari orang yang bersangkutan menghanguskan semua rasa malunya.
"Sungguh?! Gak boleh ditarik lagi loh ya!" seru Putri tiba-tiba memecahkan keheningan di sana.
Putri kemudian merebut piring dan sendok makannya dari Kei dan meletakkannya di depan Carlisle. Ia menatap dengan mata yang berbinar-binar penuh harapan. Menunggu lelaki itu mengambil sendoknya dan menyuapinya. Sedangkan Carlisle yang ditatap seperti itu merasa sedikit canggung.
Carlisle memantapkan hatinya. Lagi pula ucapannya sendiri lah yang membawanya ke situasi ini. Perlahan ia mengambil sendok di depannya dan membuat suapan yang pas untuk wanita di sampinya itu. Mengarahkan ujung sendoknya dan diterima baik oleh Putri. Wajah wanita itu tampak sangat senang padahal yang Carlisle lakukan hanya menyuapinya saja. Tanpa sadar senyum tipis terlukis pada wajahnya.
Kian hari berlalu. Luka pada perut Putri sudah pulih sepenuhnya. Sedangkan luka pada tangannya masih memerlukan waktu beberapa hari lagi untuk benar-benar pulih. Tapi meski bisa dibilang lukanya sudah pulih, entah mengapa Carlisle masih saja memanjakan Putri. Tentu dia tidak akan menolaknya tapi hal itu membuat Putri jadi sedikit berharap.
Pagi ini juga, pria yang berstatus sebagai kepala keluarga itu berada di kamar Putri untuk membantunya makan. Meski terlihat mata Glenn sang sekretaris sudah seperti ikan mati, dan para pelayan kediaman sudah mulai menyebarkan rumor. Carlisle sama sekali tidak mempedulikan itu. Seolah yang berada dipikirannya itu hanyalah ingin memanjakan Putri.
"Aku gak nolak sih, tapi tetep aja ini bikin aku berharap ...," batin Putri kala ia menatap wajah Carlisle yang tampak melukiskan senyum tipis seraya menyuapinya.
Potongan daging pada garpu perak itu memasuki mulut Putri. Ia mengunyahnya dengan matanya yang hanya terfokus pada pria di depannya itu. Disaat daging dalam mulut Putri sudah hampir habis, dan Carlisle sudah siap untuk memeberi yang selanjutnya. Putri membuka mulutnya tuk berbicara.
"Tuan, menikahlah dengan saya."
"Tidak," balas Carlisle spontan.
Balasan itu membuat Putri terasa seperti dijatuhi batu yang sangat besar. Harapannya seketika menghilang dengan kecepatan cahaya. Meninggalkan bolongan yang sangat besar pada hatinya. Putri sontak membuang muka. Mulutnya komat kamit seperti sedang mengumpat.
Carlisle yang mendapati itu seketika merasa canggung. Memang benar bahwa itu adalah jawaban yang ia berikan secara spontan. Tapi entah kenapa ia sudah merasa tidak seperti itu lagi. Jika boleh jujur, Carlisle sendiri tidak yakin akan perasaannya sendiri. Apakah ia juga menyukainya, ataukah ini hanya perasaan bersalah karena sudah membiarkannya terluka hari itu.
Ketika dirasa suasana mulai canggung. Carlisle terpikirkan suatu hal yang memang sudah lama ingin dia katakan pada Putri. Dan sepertinya ini adalah saat yang tepat karena bisa mengalihkan pembicaraan mereka.
"Putri, apakah anda ingin gaun baru?" tanya Carlisle tiba-tiba membuat Putri tertegun.
"Acara ulang tahun kerajaan tinggal sebentar lagi, tidakkah anda ingin mengenakan gaun baru untuk menghadirinya?" lanjut Carlisle.
Perlahan Putri menolehkan kepalanya. Terlihat sudut pipinya sedikit memerah dan bibirnya mengerucut. Matanya yang melihat kearah Carlisle itu sedikit menyudut. Cukup lama ia seperti itu, tapi Carlisle hanya memperhatikannya saja. Dan akhirnya bibir wanita itu terbuka untuk menjawab.
"Baiklah ...."
.
.
.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Genius Woman Went to Another World [TERBIT]
FantasyAriana Putri atau yang lebih dikenal sebagai Putri merupakan seorang ilmuan jenius. Seluruh barang ciptaannya membuat berbagai perubahan besar pada dunia. Lalu tanpa sepengetahuan siapa pun, Putri pun membuat sebuah alat yang dapat membuatnya pergi...