23: Pesta

49 35 11
                                    

***

Sebuah ruangan besar atau aula istana ini memiliki pilar-pilar besar yang berdiri kokoh di tiap sisi ruangan. Terdapat pintu berwarna putih dengan ukiran-ukiran emas yang membentuk sangat indah disisi yang menghubungkan ruangan dengan lorong istana. Disisi lainnya terdapat pijakan yang lebih tinggi dan berderet singgasana raja beserta keluarga kerajaan lainnya. Terdapat pula karpet merah yang terbentang panjang dari pintu hingga ke singgasana. 

Aula itu kini sudah dipenuhi dengan orang-orang dari keluarga bangsawan. Bahkan utusan dari kerajaan tetangga juga dapat terlihat berkumpul disana. Mereka sibuk saling menyapa satu sama lain yang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam setiap katanya akan berisi sindiran kepada lawan bicaranya. Karena memang seperti itulah bangsawan. Mereka sangat pandai menyusun kata-kata hingga membuat sindiran terdengar seperti pujian.

"Yang Mulia Carlisle Alvonheim dan Putri Ariana Cecilia Elister, memasuki ruangan!!"

Terdengar dua orang prajurit yang berjaga disamping pintu meneriakkan kalimat itu. Kemudian pintu pun terbuka. Memperlihatkan kedua orang yang telah menjadi pembicaraan hangat para bangsawan. Pria berambut putih yang digadang-gadang sebagai calon suami paling ideal kedua setelah putra mahkota itu kini sedang berjalan di atas karpet merah dengan menggandeng tangan wanita di sampingnya. Wanita berambut hitam itu memiliki senyum di wajahnya yang membuat semua orang terpaku padanya.

Keduanya terus berjalan hingga mendekati anak tangga yang menuju singgasana keluarga kerajaan. Carlisle pun meletakkan tangannya di depan dada dan menundukkan kepalanya sebagai penghormatan kepada sang raja. Sedangkan Putri sedikit mengangkat gaunnya tuk memberi salam.

"Kami menyapa yang mulia raja."

Seorang laki-laki di usia 50annya dengan rambut pirang yang duduk pada singgasana tepat di depan mereka itu mengangkat sudut bibirnya. Ia kemudian mengangkat telapak tangan kanannya tuk mengisyaratkan agar Putri dan Carlisle berhenti membungkuk. Lalu dengan suara beratnya, ia memanggil nama lengkap Carlisle. Sontak Carlisle pun mengambil satu langkah maju dan berlutut. Mulutnya terbuka tuk membalas panggilan dari sang raja. 

"Kau sudah melakukan pencapaian besar kali ini, Carlisle Alvonheim," ucapnya dengan tersenyum tipis. "Meski baru dua tahun sejak dirimu meneruskan Alvonheim, tidak kusangka kau sudah bisa menuntaskan masalah ini."

"Anda terlalu memuji saya, yang mulia. Semuanya tidak akan berjalan sebaik ini jika bukan karena bantuan Putri Ariana," ujar Carlisle. 

"Benarkah itu?" 

"Itu benar, yang mulia. Tepat satu minggu yang lalu, ketika Putri baru saja tiba di wilayah Alvonheim, beliau tanpa sengaja bertemu dengan para pedagang budak yang sedang dalam perjalanan keluar kota. Putri yang menyadari kejanggalan itu pun langsung meringkus mereka semua dan membawanya kepada saya," ungkap Carlisle.

Semua orang yang mendengar pengungkapan dari Carlisle itu pun mengalihkan perhatiannya pada wanita berambut hitam itu. Bahkan sang raja pun turut mengalihkan matanya ke arah Putri. Membuat orang yang ditatap merasa tak nyaman. Tapi ia harus tetap menjaga ekspresinya dihadapan sang raja. 

"Anda sudah melakukan hal yang sangat berarti bagi kami, putri. Sebagai raja, saya mengucapkan terimakasih," ucap raja seraya sedikit menundukkan kepalanya. Sikapnya itu membuat setiap orang disana gelagapan. Karena seorang raja tidak seharusnya semudah itu menundukkan kepalanya pada seseorang.

"Tolong angkat kepala anda, yang mulia. Saya melakukan ini hanya karena saya merasa bertanggung jawab sebagai sesama makhluk hidup. Dan ketika saya melihat kondisi anak-anak itu, saya merasa tak tahan ingin membunuh orang-orang itu...." Putri berucap dengan menampakkan senyum seringai yang membuat orang-orang disana bergidik ngeri. 

"Tapi saya tidak melakukannya. Karena saya sadar bahwa perdagangan budak seperti itu tidak mungkin bergerak sendiri. Jadi saya menahan diri dan memilih menyerahkan mereka pada Alvonheim," lanjutnya. Kini ekspresinya tampak begitu lembut menatap kearah pria berambut putih yang berada didekatnya itu.

Terlihat pula pria itu tersenyum tipis membalas senyuman dari Putri. Raja yang melihat itu pun seketika mengangkat sudut bibirnya. Kemudian membuka mulutnya tuk kembali berbicara.

"Katakan, apa yang kalian inginkan?" tanya raja.

Mendapati pertanyaan itu, Putri pun beradu tatap dengan Carlisle untuk sepersekian detik. Kemudian setelah berpikir untuk beberapa menit. Putri yang lebih dulu berbicara menjawab pertanyaan dari sang raja.

"Saya hanya ingin keamanan anak-anak itu dapat terjaga dengan baik. Jadi saya tidak memerlukan apapun, yang mulia."

Jawaban itu membuat semua orang yang mendengarnya seketika terenyuh. Mereka berpikir, bagaimana bisa ada orang sebaik dirinya di dunia ini. Padahal anak-anak yang diselamatkan olehnya adalah anak dari negara lain, bukan negaranya.

"Tanpa perlu anda mintai kami akan tetap melakukan itu, putri. Karena itu saya tetap harus menghadiahi anda sesuatu, jadi saya sudah menyiapkan sesuatu untuk anda. Semoga anda menyukainya."

Raja mengangkat tangan kanannya seolah memberi sebuah isyarat. Kemudian terlihat seorang laki-laki berjalan dari sisi kanan Putri. Laki-laki itu membawa sebuah kotak berukuran sedang di tangannya. Dia pun menyerahkan kotak itu pada Putri kemudian kembali ke tempatnya. Akibat rasa penasaran, Putri membuka kotak itu dan menemukan sebuah kalung dengan permata biru yang sangat indah. Senyum sumringah pun mekar di wajahnya.

"Saya akan menggunakannya dengan sangat baik, yang mulia."

.

.

.

Sesi beri-memberi hadiah pun selesai. Kini yang perlu Putri lakukan hanyalah menikmati acara dengan menyantap kue-kue lezat yang telah disediakan. Atau itulah yang ia harapkan.

Nyatanya Putri disibukkan dengan para bangsawan yang terus saja mengajaknya mengobrol. Membuat Putri terpaksa harus meladeni mereka dengan senyum palsu di wajahnya. Hal itu terus berlanjut hingga puluhan menit lamanya dan membuat urat wajah Putri sudah terasa pegal karena terus-terusan tersenyum.

Putri pun dapat terbebas dari situasi itu setelah terdengar alunan musik waltz dimainkan dan beberapa lampu dimatikan. Itu tandanya sesi berdansa pun dimulai. Tapi Putri sama sekali tidak mempedulikan itu. Ia memanfaatkan kesempatan tersebut dengan mengambil segunung kue dan membawanya ke pinggir ruangan dimana kedua pelayannya berada. Seolah dirinya telah lupa dengan sesi belajar dansa bak neraka yang ia telah lakukan malam tadi.

"Putri, anda tidak akan berdansa?" tanya Sandra.

"Nanti dulu, mau ngisi perut ini. Orang introvert kaya saya dihadapin sama pesta kaya gini rasanya langsung jadi zombie," keluh Putri selagi menyumpalkan mulutnya dengan kue.

"Ohh, saya kira tidak ada yang mengajak anda berdansa," olok Kei.

"Sembarangan! Kau gak liat tadi cowok-cowok itu pada ngantri ngajak aku dansa hah?! Cuman energiku ini rasanya tinggal 2 persen jadi aku menyingkir kesini," dalih Putri tak terima.

Putri pun masih terus menyumpali kue kedalam mulitnya namun dengan ekspresi yang tampak kesal. Ia menatap kearah tiap pasangan yang saat ini sedang menari di tengah aula. Jujur saja sebenarnya apa yang ia ucapkan barusan tidak sepenuhnya benar. Alasan sebenarnya ia menolak ajakan dansa mereka, karena ia ingin dansa pertamanya bersama Carlisle.

Tapi orang yang ia ingin-inginkan itu bahkan tidak menunjukkan batang hidungnya sedikitpun. Dugaannya akan Carlisle yang saat ini sedang berdansa dengan wanita lain membuat perasaan kesal Putri semakin menjadi-jadi. Ia menatap kearah tiap pasangan itu dengan intens tuk mencari apakah Carlisle juga berada disana.

Lalu ketika dirinya sedang sibuk menatap ke depan. Suara pria yang sangat ia kenali terdengar berbicara dari sampingnya. Putri pun menolehkan kepala. Dan melihat pria berambut putih yang ia tunggu-tunggu sedari tadi kini sedang menjulurkan tangannya pada Putri.

"Jika anda hanya sibuk makan disini, kenapa kita tidak berdansa saja, putri?"

.

.

.

Bersambung. 

When The Genius Woman Went to Another World [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang