26: Hilang

38 21 7
                                    

***

Gelap, sunyi dan sepi, memenuhi seluruh indra Putri. Ia berjalan seorang diri dalam kekosongan ruang hampa. Menoleh ke segala arah tuk menemukan cahaya. Lalu dipatahkan oleh harapan semata. Meski begitu menyerah bukanlah pilihan. Putri masih terus berjalan meski kekosongan mulai menggerogoti keberaniannya.

Seolah usaha tak mengkhianati hasil, netranya menangkap sosok tak asing yang berdiri jauh di depannya. Sosok itu mengenakan pakaian serba putih dan rambutnya berwarna putih yang membuatnya sangat kontras dengan kegelapan sekitar. Putri mempercepat langkahnya demi menggapai sosok itu.

Namun di saat tersisa sedikit jarak di antara mereka. Kegelapan menjerat tubuh sosok itu seperti jaring. Putri mengulurkan tangannya mencoba menolong. Namun seolah sosok itu sudah tau akan takdirnya, ia pun tersenyum. Mulutnya bergerak mengucapkan sesuatu tapi Putri tidak dapat mendengar apa yang diucapkannya. Tepat setelahnya, kegelapan melahap habis tubuhnya.

"HAHH!!"

Putri berteriak. Ia terduduk di atas ranjang putihnya bermandian keringat. Napasnya tersengal-sengal dan pikirannya kacau. Ia meremas rambut kepalanya seolah ingin mengambil mimpi buruk itu dan melemparnya ke dalam kobaran api.

Putri menenggelamkan wajahnya diantara kakinya yang menekuk. Saling memegangi lengannya yang melingkar di depan betisnya. Ia menghela napas panjang tuk dapat menenangkan diri.

"Tenang saja, di dunia ini tidak akan ada yang menculikku," batin Putri menenangkan dirinya sendiri.

Dulu di dunia lamanya, Putri sudah beberapa kali mengalami penculikan. Mereka adalah orang-orang yang memanfaatkan nama Putri demi mendapat uang yang sangat banyak dari pemerintah. Putri adalah aset penting negara, jadi tentu saja mereka akan memberikan berapapun agar keselamatan Putri dapat terjaga. 

Lalu di saat Putri sudah mulai merasa bahwa penculikan bukan suatu hal besar lagi. Terjadilah penculikan lain yang menimbulkan trauma seumur hidup bagi Putri. 

Saat itu Putri berusia 16 tahun. Tepat ketika baru saja pulang sekolah, seorang pria menculiknya di perjalanan. Para bodyguard yang menemaninya tentu melakukan upaya penyelamatan. Sedangkan Putri dengan tenang di sekap oleh pria yang menculiknya itu. Karena ia berpikir orang ini juga pasti mengincar uang jadi tidak mungkin dia akan menyakitinya. Atau itulah yang Putri pikirkan.

Saat itu Putri dibawa ke sebuah ruangan oleh pria itu. Tangannya diikat dan matanya ditutup. Hingga membuat Putri hanya dapat merasakan sekitar dengan telinga dan kulitnya. Pria itu mendudukkan Putri pada sebuah bantalan empuk seperti sofa. Putri pikir setelahnya penutup matanya akan dilepaskan. Namun ternyata jauh berbeda dari perkirannya. 

Apa yang pria itu lakukan justru membuat Putri jijik dan mual. Ia memberontak dengan segala yang ia bisa. Tapi usahanya itu justru membuat pria itu marah hingga memukul wajahnya. Dapat terasa kini kaki Putri turut diikat dan mulutnya disumpali kain agar tidak berteriak. Setelah ia rasa "aman" pria itu pun melanjutkan aksi bejatnya.

Gadis itu hanya dapat pasrah. Didalam kegelapan yang ia rasakan, terdapat rasa sakit dan dingin di sekujur tubuhnya. Ia hanya dapat berteriak meminta tolong dalam kegelapan. Suara-suara lain disekitarnya seolah tidak dapat terdengar lagi. Menyisakan kesadarannya yang dimakan oleh kegelapan.

"S**lan! Aku jadi teringat lagi!" Putri menjambak rambutnya berusaha menghapus ingatan kelam itu. Dapat terasa tubuhnya yang bergetar. Ia menggigit bibirnya tuk meredakan kecemasannya tersebut.

"Huuu, gak papa. Disini aman. Gak ada yang kenal aku sebagai Putri disini," ucapnya kemudian menghela napas panjang.

"Padahal terakhir aku memimpikan ini saat terkena efek obat tidur pasca kejadian penusukan. Kenapa pula sekarang dateng lagi??" gerutu Putri.

Sudah lama sejak Putri memimpikan hal itu. Mimpi itu baru datang jika ia mendapat efek obat tidur karena terluka. Jadi ini adalah pertama kalinya ia bermimpi seperti itu lagi setelah sekian lama. Kemudian kilas balik dari mimpinya itu kembali terpikir di benaknya. 

"Kalau dipikir-pikir kenapa ada orang lain di mimpiku? Dan orang itu adalah Isle terlebih lagi."

"Dia juga kaya ada ngomong sesuatu tapi aku lupa dia ngomong apa ...."

Di saat Putri sedang disibukkan dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba suara gebrakan pintu menusuk telinganya. Sontak Putri menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Di sana terlihat Sandra sedang berdiri diambang pintu dengan napas yang tersengal-sengal. Putri menatap gadis itu dengan tatapan bertanya-tanya.

"Putri ...."

Dengan suara lirih Sandra memanggil nama Putri. Wajahnya tampak sedih selagi dirinya mendekat ke arah Putri. Itu membuat Putri merasakan sebuah firasat buruk yang berkecamuk dipikirannya.

"Yang mulia Carlisle menghilang."

Pernyataan itu terdengar seperti sebuah petir di siang bolong bagi Putri. Tanpa bertanya lebih lanjut atau bahkan memakai syal tuk menutup tubuhnya, Putri langsung berlari keluar kamar. Dengan bertelanjang kaki dan tanpa mempedulikan tatapan yang melihatnya. Putri berlari menuju kamar Carlisle.

Setibanya disana, Putri melihat Giselle, Julian, dan beberapa Prajurit Alvonheim berkumpul di dalam kamarnya. Di saat Putri baru saja memasuki ruang kamar, telapak kakinya merasakan sesuatu yang dingin dan sedikit basah. Ketika ia menundukkan kepalanya tuk melihat apa yang ia pijak itu. Matanya menangkap pemandangan lantai yang di penuhi bercak merah yang sudah setengah mengering.

Tubuh Putri seketika bergetar hebat. Detak jantungnya berdegup gak karuan. Telinganya seolah tertutup hingga tak dapat mendengar suara sekitar yang berusaha memanggilnya. Mulutnya seolah membisu. Kepalanya dibuat kacau dengan bayangan-bayangan gila yang seketika terlintas. Penglihatannya semakin lama semakin kabur dan berakhir dengan gelap sempurna.

.

.

.

Di sebuah tempat yang gelap. Seorang pria dengan tangan yang tergantung berada disana. Tubuh bagian atasnya yang tak tertutup kain apapun itu memiliki berbagai luka sayatan di setiap sisinya. Keningnya mengeluarkan darah akibat pukulan benda tumpul. Lalu setelah beberapa menit berlalu akhirnya kesadaran kembali pada pria itu.

Mulutnya mengerang tat kala rasa sakit disekujur tubuhnya kembali terasa. Matanya yang sedikit menyipit itu menatap ke depan. Dimana terdapat seorang gadis sedang duduk disana dengan tangannya yang memegang sebuah belati.

"Ah, anda sudah bangun, yang mulia?" Gadis itu berbicara dengan tersenyum lebar seolah menyayati tubuh orang bukan suatu hal besar baginya. Pria yang dimaksud itu menggertakkan giginya setelah melihat reaksi santai dari gadis di depannya itu.

"Bianca ....," lirihnya.

"Benar, saya Bianca, Yang mulia Carlisle Alvonheim. Saya kira anda akan berakhir amnesia akibat pukulan tadi. Tapi ternyata tidak ya, sayang sekali," Ujarnya seraya tersenyum menyeringai. Tangan kurusnya itu dengan lihai memainkan belatinya.

"Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau melakukan ini?!!" pekik Carlisle. 

Mendapati pertanyaan itu ekspresi Bianca mendadak datar. Belati yang menari-nari di tangannya seketika diam. Ia tidak menjawab pertanyaan Carlisle dan beralih berjalan mendekatinya.

"Karena kau juga sebentar lagi akan mati, jadi dengan senang hati kuberitahu."

Gadis itu menyeringai. Terlihat keningnya menumbuhkan sebuah tanduk runcing. Aura disekitarnya berubah menggelap.

"Aku pengikut pertama Raja Iblis, Vierra Cabian. Dan berkat kalian Alvonheim, akhirnya rajaku dapat bangkit kembali."

.

.

.

Bersambung.

When The Genius Woman Went to Another World [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang