15: Harus bagaimana?

60 41 0
                                    

***

Saat ini Putri sudah berada di bawah pohon di taman belakang Kediaman Alvonheim. Ia berada disana setelah sesi bincang-bincang yang lebih seperti pengakuan dosa itu. Untuk menikmati angin sepoi-sepoi dan senandung kicauan burung yang menenangkan pikiran.

Pembicaraan tadi berakhir setelah prajurit istana tiba di depan kediaman. Karena ternyata Hendrix sang putra mahkota itu pergi diam-diam tanpa memberitahu siapapun di istana. Pantas saja ia tidak membawa satu pengawal pun bersamanya. Beruntung Carlisle yang sudah mengetahui tabiat buruk darinya itu langsung memberi kabar ke istana tanpa sepengetahuannya.

"Walaupun aku tau pasti gak dipercaya tapi kok rasanya sakit yah ...?" gumam Putri.

Gumaman itu sontak menarik perhatian kedua pelayan di sampingnya. Mereka menatap sang majikan dengan tatapan yang ragu ingin merespon apa. Jadi pada akhirnya mereka diam saja dan membiarkan Putri menenangkan dirinya. Lalu setelah beberapa saat, ketika dirasa sudah cukup tenang, Kei membuka mulut tuk berbicara.

"Putri, hari ini ... saya belajar memasak."

Hening. Tidak ada yang memberikan respon pada pernyataan tiba-tiba dari Kei. Kedua perempuan di depannya itu justru mengedipkan matanya beberapa kali seolah tak percaya Kei lah yang baru saja mengatakan itu.

Kei yang tidak mendapat respon sedikitpun sontak membuang muka. Tampak keningnya yang sedikit berkerut. "Maaf, lupakan saja."

"Ahaha, maaf, aku gak bermaksud gitu. Aku udah tau kok kamu belajar masak tadi pagi. Belajar apa aja? Coba ceritain," ucap Putri tuk memperbaiki suasana hati Kei dengan tersenyum lembut.

Mendapati itu, suasana hati Kei pun membaik. Meski hanya sebuah robot, tapi berkat AI itu Kei dan juga Sandra juga dapat merajuk seperti tadi. Karena itu Putri harus meladeninya bak seorang ibu. Dan sekarang Kei mulai bercerita panjang lebar tentang apa saja yang ia pelajari tadi pagi. Sandra sesekali menimpali untuk sekedar menjahili laki-laki itu dan selalu dibalas tatapan tajam olehnya.

Sandra yang selalu jahil jika bersama dengan Kei. Dan Kei yang gampang sekali kesal karen kejahilan Sandra. Sudah bukan pemandangan tak biasa lagi dimata Putri. Ia sudah sangat puas menikmati aksi adu mulut kedua saudara itu. Lalu jika candaannya sudah kelewat batas maka pasti Putri yang akan menjadi penengah di antara mereka.

"Kei, mau seberapapun kau belajar masak, gak akan bisa ngalahin aku. Jadi mending nyerah aja deh," ucap Sandra dengan tersenyum miring. Kei yang mendengar itu seketika mengerutkan keningnya.

"Putri ...," rengek Kei dengan wajah melas. 

"Dih ngadu, gak asik!" keluh Sandra.

"Udah-udah, kenapa jadi berantem sih? Sandra juga, jangan gitu, Kei udah aku kasih program yang bisa membuatnya memasak kok semenjak kamu pergi. Soalnya aku bisa-bisa mati kalo dia gak bisa masak buat aku selama dua bulan kemaren," ucap Putri tuk melerai kedua orang itu dari beradu mulut.

"Anda kan bisa memasak juga, jadi bukannya tidak perlu ya memberi Kei program masak?" tanya Sandra.

"Kau pikir aku serajin apa buat masak tiap hari sedangkan kerjaanku aja setinggi langit?" sindir Putri. 

"Uhm ... kalau begitu ya mau bagaimana lagi ...," lirih Sandra. Adu mulut pun akhirnya berakhir. Digantikan dengan keduanya yang saling melempar tatapan tajam. 

"Ngomong-ngomong Kei, tadi kau ada ketemu sama putra mahkota kah?" tanya Putri tuk mengalihkan pembicaraan. Mendengar pertanyaan itu, Kei terdiam sejenak tuk mengingat. 

"Ah, iya ada. Beliau tadi salah mengira saya dengan Tuan Carlisle, bagaimana anda bisa tau?" balas Kei.

"Tadi dia ada nyinggung soalmu, dia bilang katanya warna matamu bagus dan nanya apa itu hal yang biasa di negara kita," ungkap Putri.

Kei hanya berdehem singkat menanggapi itu. Sedangkan Putri kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah percakapan singkatnya dengan Hendrix perihal warna mata Kei itu membuat Putri terpikirkan sesuatu. Ia sudah mendengar bahwa Cerlisle dan Hendrix adalah sepupu dan Hendrix yang selalu berinteraksi dengan Carlisle seolah mereka sangat dekat. Hal itu membuat Putri memikirkan suatu hal gila di benaknya.

"Dia gak ngedeketin Carlisle karena suka sama matanya kan??" batin Putri menduga-duga.

"Gak, gak mungkin. Dia aja tadi ngeliatin aku seintens itu, jadi gak mungkin ...," sanggah Putri pada pemikirannya sendiri. "Lagian dunia ini genrenya gak gitu." Tanpa sengaja kalimat itu terucap keluar dari mulut Putri.

"Anda mengatakan sesuatu, Putri?" tanya Kei.

"Gak, gak ada apa-apa."

.

.

.

Waktu terus berlalu hingga pagi kembali tiba. Tanpa terasa ini sudah hari ketiga Putri tinggal di Kediaman Alvonheim. Ia sama sekali tidak berinisiatif untuk pergi dari sana. Begitu juga dengan Carlisle yang tampak sama sekali tidak keberatan dengan kehadirannya di sana. Mereka hanya saling bertukar sapa singkat satu sama lain jika bertemu ataupun saat sedang makan bersama. Selebihnya Carlisle akan disibukkan dengan pekerjaannya sendiri.

"Kalau kaya gini gimana caranya biar dia bisa nerima lamaranku?"

Ucapan itu sontak menarik perhatian Sandra yang berada di belakangnya. Saat ini mereka sedang berjalan menuju ruang makan untuk sarapan. Jadi Putri kesana dengan didampingi oleh Sandra yang merupakan pelayan pribadinya.

"Anda berbicara tentang perkataan Tuan Carlisle hari itu, Putri?" tanya Sandra penasaran.

"Iya, setelah dia bilang itu kukira bakal dikasih kesempatan. Tapi apa? Dia malah sibuk banget sama kerjaannya," gerutu Putri kesal.

"Mungkin maksudnya anda harus berusaha untuk mendekatinya, bukan sekedar mengikuti arus," ujar Sandra.

"Mengikuti arus apanya. Kau pikir kita yang selalu papasan itu kebetulan? Ya enggak lah say, itu kan karena aku yang ngikutin dia terus pura-pura gak sengaja ketemu. Tapi yang dia lakuin cuma ngangguk atau malah gak dijawab sama sekali. Apa aku setidak dapat dipercaya itu?" keluh Putri kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Yang sabar ...," bujuk Sandra seraya menepuk-nepuk punggung Putri.

Mereka pun sampai di ruang makan. Putri segera masuk karena dirinya pasti telah ditunggu di dalam. Sedangkan Sandra tetap di luar selagi menunggu Putri selesai makan. Wanita berambut hitam itu masuk, menyapa satu persatu orang di sana. Giselle membalas sapaan Putri dengan tersenyum lembut. Julian hanya membalas dengan kata "Pagi" menggunakan wajah datarnya. Sedangkan Carlisle hanya berdehem singkat sekaligus mengangguk kecil. Putri yang melihat itu sungguh merasa sakit hati, tapi tetap ia tahan. Karena apa? Tentu saja karena dia menyukai pria itu.

Mungkin kalian berpikir bahwa rasa suka Putri adalah perasaan sesaat karena Carlisle itu tampan. Tapi itu sepenuhnya salah. Memang pada awalnya Putri menyukainya karena penampilannya, bahkan ia sampai dengan lantangnya melamar pria itu di depan umum. Tapi itu bukan satu-satunya alasan. Karena hari itu, dari tempat yang jauh, Putri melihat betapa baiknya Carlisle memperlakukan anak-anak yang tidak lain adalah budak.  

Tidak dapat diragukan lagi bahwa Carlisle adalah Putra sulung Keluarga Alvonheim yang tentunya mendapat segala macam kemewahan sejak lahir. Tapi itu tidak membuatnya memperlakukan orang di bawahnya dengan buruk. Ia justru memperlakukan mereka dengan baik dan sangat hati-hati. Hal itulah yang membuat Putri menyukainya. Dia memang wanita yang simpel.

Sarapan pun selesai. Ketiga orang itu pun bersiap-siap keluar untuk melanjutkan rutinitas hariannya. Begitu pula dengan Putri yang hendak keluar meski ia tidak tau ingin melakukan apa. Bisa dibilang dia adalah satu-satunya orang di kediaman itu yang paling tidak memiliki kesibukan. 

Tapi kemudian langkah Putri terhenti setelah terdengar suara pria memanggil namanya. Putri pun mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Di sana berdiri seorang pria berambut putih yang menatap Putri dengan mata merah permatanya.

"Bisa ikut ke ruangan saya sebentar, Putri?"

Itu Carlisle.

.

.

.

Bersambung. 

When The Genius Woman Went to Another World [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang