14: Bohong?

66 42 6
                                    

***

"AAAAAAA, sumpah gabut bet!" Putri berteriak seraya mengacak-acak rambutnya. Tindakan tiba-tiba itu membuat Sandra yang berada disampingnya sontak membelalakkan mata.

"Putri ... saya tau anda bosan, tapi bisakah anda tidak mengacak-acak rambut anda?" Sandra berucap dengan aura dingin yang membuat Putri seketika merinding.

"Sori ...." Putri menurunkan pandangannya. Sedangkan Sandra bergerak untuk merapikan rambut Putri yang berantakan tuk kesekian kalinya. "San, coba kau ngelakuin sesuatu gitu biar aku gak bosen."

"Anda ingin saya melakukan apa?" tanya Sandra namun masih tangannya masih sibuk dengan rambut Putri.

"Ya gak tau, kau pikir lah sendiri," balas Putri acuh membuat Sandra sedikit kesal.

Kemudian Putri menatap kearah langit biru di atasnya. Langit cerah yang dihiasi dengan awan-awan putih. Lalu ia menurunkan pandangannya ke arah bawah di mana taman berada. Menatap dedaunan hijau yang berbentuk kotak rapi berkat hasil kerja keras sang tukang kebun. Putri menatap semua itu dari balik pagar balkon di kamarnya.

Tok tok tok! 

Terdengar suara ketokan pintu kamar di ujung ruangan. Membuat Putri dan Sandra sontak mengalihkan pandangannya. Tampak seorang pria tua berseragam pelayan membukakan pintu untuk sang nyonya kediaman di belakangnya. Wanita yang masih tampak sangat cantik meski diusia 40 an nya itu tersenyum lembut pada kedua wanita di dalam kamar.

"Nyonya Giselle?" 

Putri yang menyadari bahwa yang datang itu adalah Giselle, sontak bangkit dari duduknya. Untungnya Sandra sudah selesai merapikan rambut Putri. Ia pun berjalan menghampiri Giselle dengan sedikit bingung. Tapi dengan tenang ia mempersilahkan sang nyonya kediaman itu tuk duduk pada sofa di sana. Namun Giselle justru menolak tawaran itu dan berkata.

"Putri, saat ini yang mulia putra mahkota sedang berkunjung. Bagaimana jika kita pergi menyapanya bersama?"

Mendengar itu, sorot mata Putri seketika berbinar-binar. Dirinya yang sedari awal memang sudah bosan. Ditambah dengan kata "Putra mahkota" yang didengarnya membuat jantung Putri berdegup sangat kencang. Dengan cepat ia pun menyetujui ajakan dari Giselle. Dan berakhirlah dengan dirinya berada di ruang tamu bersama dengan Carlisle dan juga sang putra mahkota, Hendrix.

Keempat orang itu duduk di sana. Putri di samping kanan Giselle. Carlisle duduk di sofa tunggal yang berada di sebelah kiri sang ibunda. Dan Hendrik duduk sendiri di sofa panjang yang berada di depan Putri dan Giselle. Putri yang semulanya merasa sangat senang karena dirinya dapat bertemu dengan putra mahkota dari dunia fantasi. Kini justru merasa tidak nyaman dan tak tau harus melihat kemana. Pasalnya sang putra mahkota itu kini sedang menatapnya dengan intesn hingga membuat wanita berambut hitam itu risih.

"Ni orang kenapa sih?? Dari tadi ngeliatin mulu," batin Putri.

"Jangan-jangan dia ini putra mahkota tipe villain? Terus dia suka sama aku dan pengen ngedapetin aku?? Gak bisa, cowok blonde memang ganteng tapi rambut putih lebih menggoda!" 

Berbanding terbalik dengan pikirannya yang sangat liar. Saat ini Putri justru tersenyum dengan sangat ramah pada pria berambut pirang di depannya itu. 

"Putri," panggil Hendrix dengan suara halusnya. "Saya penasaran, seperti apa negara tempat anda berasal sebelumnya?" lanjut Hendrix mengutarakan pertanyaannya sebagai basa-basi. Karena sebenarnya ia tidak terlalu peduli dengan itu. Ia hanya ingin memulai pembicaraan saja dengan wanita berambut hitam didepannya itu.

Disisi lain, Carlisle yang sebelumnya merasa sedikit kesal akibat Hendrix yang terus saja memperhatikaan Putri itu kini juga turut penasaran. Pasalnya yang ia ketahui tentang wanita itu hanya dia yang merupakan seorang putri dari Kerajaan bernama Elister. Dan tentang Putri yang sepertinya telah mengalami masa-masa sulit di negara asalnya. Sebenarnya negara seperti apa tempatnya berasal itu?

Kini semua mata tertuju pada Putri. Dirinya yang sejak awal tidak suka diperhatikan oleh banyak orang seketika merasa risih. Meski begitu, Putri cukup pandai mengendalikan ekspresinya dalam situasi seperti ini. Jadi, setelah menyeruput teh chamomile yang disajikan untuknya, Putri pun buka suara.

"Negara saya adalah sebuah negara modern, yang sangat berbeda dengan negara sekitar," ucap Putri.

"Perbedaan seperti apa itu?" tanya Hendrix namun dengan wajahnya yang tidak tampak penasaran sama sekali. Ekspresi yang Hendrix tunjukkan itu justru hanya terfokus pada wajah Putri entah karena apa.

"Di negara saya, tidak ada sihir maupun ras selain manusia."

Bak petir di siang bolong, tepat setelah mendengar itu, suasana mendadak hening. Tampak pupil mata mereka membulat sepenuhnya. Bibir mereka seolah membeku setelah mendengar pernyataan mengejutkan itu. 

"... anda yakin soal itu?" Kali ini Giselle yang bertanya.

"Iya, saya sepenuhnya yakin. Semua orang di negara saya adalah manusia, dan kami semua hidup hanya dengan mengandalkan otak kami bukan sihir. Karena itu saya sangat terkejut saat tiba di sini. Semuanya tampak sangat berbeda. Seakan saya berada di dunia lain," jelas Putri. Ia menyelipkan senyum miring di saat mengatakan "Dunia lain" pada akhir kalimatnya.

Ketiga orang yang mendengarnya pun hanya dapat terdiam. Mereka masih berusaha mencerna apa yang baru saja mereka dengar. Tapi semakin mereka berusaha mencernanya, semakin bingung pula mereka dibuatnya. Tidak pernah sedikitpun terbesit di pikiran mereka sebuah negara di mana tidak ada sihir.

"Itu tidak masuk akal. Bagaimana bisa negara kita begitu berbeda sedangkan kita saja berada diatas tanah yang sama?" ucap Carlisle masih tak percaya. Kini prasangka buruknya tentang wanita berambut hitam di depannya itu datang kembali. Tatapan mata merah permatanya menajam ketika melihat kearah Putri. 

"Anda berpikir saya berbohong?"

"Kau berharap aku akan percaya dengan itu?"

Carlisle menatap Putri dengan matanya yang memicing. Sedangkan Putri membalas tatapan itu dengan sorot mata lembut dan bibirnya yang tersenyum. Suasana pun seketika menegang. Giselle dan Hendrix yang merada diantara mereka tidak tau harus berbuat apa untuk mencairkan suasana. Karena mereka juga sependapat dengan Carlisle, tapi juga tidak ingin menyudutkan Putri.

Putri tersenyum tipis mendapati Carlisle yang menolak pernyataannya terang-terangan. Ya dia juga tidak berpikir bahwa mereka akan dapat percaya begitu saja. Jadi mendapat reaksi seperti ini bukan hal yang mengejutkan bagi Putri.

"Saya juga tidak terlalu berharap anda untuk percaya. Yang saya lakukan hanyalah menjawab pertanyaan yang diberikan oleh yang mulia. Tidak ada yang dilebihkan maupun dikurangkan." Putri mengatakan itu masih dengan senyuman diwajahnya. Ia kemudian mengambil cangkir tehnya dan menyeruputnya dengan mata terpejam. 

"Lagi pula, apa keuntungannya bagi saya untuk berbohong? Untuk mendapat ketidak percayaan? Itu bukan keuntungan." Ia tersenyum miring. Kemudian meletakkan kembali cangkir teh ke atas meja.   

"Jika memang saya ke sini hanya untuk suatu rencana tersembunyi, lebih baik untuk saya mengatakan hal yang sangat mudah untuk dipercaya. Dibanding menceritakan tentang sebuah kerajaan yang seolah mimpi."

"Kalau begitu kenapa anda tetap menceritakannya?" Kali ini Hendrix yang bertanya. Ia menatap kearah Putri dengan mata biru permatanya yang tampak sangat indah bagi wanita itu.

"Lebih baik membongkarnya sendiri dibanding harus dibongkar akibat insiden, bukankah begitu?" Putri kembali menunjukkan senyum miring.

.

.

.

Bersambung.

When The Genius Woman Went to Another World [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang