PB - 42

9.2K 516 30
                                    

Rania masuk ke dalam kamarnya dan langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia meraih ponselnya yang berada di atas bantal. Lagi-lagi ia melihat ada panggilan tidak terjawab yang berasal dari Radeva, pria itu juga mengirimkan pesan kepadanya dan ia segera membacanya.

Radeva Baskara
Sesusah itu ya sinyal di sana, sampai nggak bisa angkat telepon dan balas pesan dari saya?

Rania meringis takut membaca pesan dari Radeva. Rasa bersalah tentu saja menghantuinya karena sudah mengabaikan pria itu. Tapi ia terpaksa melakukannya dan itu semua demi kebaikan dirinya sendiri.

Sekali lagi, Rania tekankan jika ia takut Radeva meninggalkannya dan memilih kembali bersama Laura. Jika hal itu benar terjadi, tentu saja ia akan sangat sakit dan harus berusaha mati-matian untuk menyembuhkan lukanya. Sebelum itu semua terjadi, ia akan membatasi dirinya dengan Radeva agar ketika hubungan mereka berakhir ia tidak terlalu kaget karena sudah terbiasa tidak berkomunikasi dengan pria itu selain untuk urusan pekerjaan.

Rania kembali menaruh ponselnya di sisi tubuhnya. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar yang langsung memperlihatkan genteng rumahnya. Waktu terus berjalan, besok ia akan mengantarkan kakak sepupunya menuju rumah suaminya untuk melakukan acara Ngunduh Mantu.

Acara itu biasa saja bagi Rania karena ia sering melihatnya. Tapi yang menjadi masalah adalah ia harus menumpang pada mobil Ali besok, tidak hanya ia sendiri sebenarnya karena Reva juga ikut bersamanya. Tapi hal itu tetap saja membuat Rania frustasi, apalagi ia juga akan semobil dengan kedua orang tua Ali.

Kabar pria itu menyukainya sepertinya sudah terdengar oleh tetangga sekitar. Mereka semua seperti sengaja mendekatkannya dengan Ali. Tidak tanggung-tanggung, pria itu di dukung oleh semua orang bahkan sampai keluarganya sendiri pun seperti sengaja membuatnya dekat dengan Ali.

Niat untuk menenangkan diri selama di kampung sepertinya tidak terealisasi dengan baik. Bukannya tenang, Rania malah semakin dibuat gila karena adanya masalah ini. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan sambil mengatur napasnya yang mulai memburu karena menahan kesal.

Bertahanlah, semuanya akan baik-baik saja.
Bukankah kamu pernah melewati fase yang jauh lebih berat dari pada ini.
Kamu pernah merasa sesak, cemas, takut dan tidak nyaman tapi kamu masih mampu bertahan.
Tarik napas dalam-dalam dan biarkan diri kamu merasakan apapun yang mungkin kamu rasakan.
Biarlah air mata keluar jika diperlukan, tetaplah kuat!

Itu adalah mantra yang selalu Rania ulang setiap ia mulai lelah menjalani kehidupan atau ketika ditimpa masalah yang cukup berat. Ia berusaha meyakinkan dirinya jika semuanya akan baik-baik saja karena pernah melewati fase yang jauh lebih berat dalam hidupnya sebelum ini. Dan itu selalu berhasil, ketika selesai mengucapkan kalimat itu, Rania akan merasa jauh lebih tenang dan perasaannya tidak sesak lagi seperti tadi.

Rania melirik ponselnya yang kembali berbunyi, jika panggilan itu berasal dari Radeva sudah pasti akan ia abaikan. Tapi ternyata yang menghubunginya adalah Kira, ia tentu saja sulit untuk mengabaikannya karena membuat sahabatnya marah adalah ide yang buruk. Ia menggigit bibirnya dengan ragu karena takut seperti sebelumnya, dimana Kira menghubunginya karena Radeva kesulitan mendapatkan kabarnya. Setelah memantapkan hatinya, Rania akhirnya menggeser layar ponselnya dan menempelkan ke telinga.

"Hallo Kir?" Sapa Rania senormal mungkin.

"Sibuk banget ya Anda sampai susah buat dihubungi." Baru memulai pembicaraan, Kira sudah menyindirnya habis-habisan.

Rania hanya bisa meringis. "Lo kan tahu disini sinyalnya agak susah. Gue jarang pegang hp."

"Beneran cuma karena itu? Nggak ada hal lain yang lo sembunyikan dari gue?"

Possessive BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang