PB - 06

16.4K 633 27
                                    

Sudah satu minggu berlalu dan Adit masih belum juga menghubunginya atau berniat menemuinya untuk meluruskan masalah. Di kantor pun Rania cukup sulit untuk mengajak pria itu bertemu, lagi pula mereka juga tidak akan bisa mengobrol dengan leluasa di sana. Jadi, malam ini sepulang dari kantor Rania putuskan untuk menemui Adit di rumahnya.

Ketika sampai, ia sedikit heran karena keadaan rumah benar-benar gelap, seperti tidak ada orang di dalam sana. Lampu teras pun juga tidak menyala, begitu juga dengan mobil Adit yang belum terlihat di garasi.

Rania segera mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Adit, tapi sayang nomor pria itu tidak aktif. Hal itu membuat Rania menghela napas pelan, ia bersandar dengan lesu di pagar belakangnya.

Kedatangannya kesini terasa sia-sia. Tapi ia juga tidak semudah itu untuk menyerah, Rania memutuskan untuk menunggu Adit di depan rumah sampai pria itu datang. Meskipun ia tidak tahu harus menunggu sampai berapa lama.

Saat terdengar suara guntur, Rania mendongakkan wajahnya. Disana langit mulai terlihat berwarna kemerahan, sepertinya tidak lama lagi akan turun hujan. Rania mengusap lengannya yang terasa dingin, blouse yang ia gunakan tidak bisa melindungi tubuhnya dari angin yang mulai berhembus kencang.

Dan benar saja, tidak menunggu lama rintik-rintik air mulai turun hingga membuat Rania yang sedang duduk, langsung berdiri dan menepi di depan teras rumah Adit agar tidak kehujanan.

Di puncak titik lelahnya untuk menunggu, akhirnya Adit datang juga. Pria itu keluar dari mobilnya menggunakan payung hitam dan segera berjalan menghampirinya.

"Rania?" tanya Adit tidak percaya saat melihat kehadirannya, "Sedang apa kamu disini? Nanti kamu bisa sakit."

"Aku nggak bisa menghubungi kamu," sahut Rania dengan tubuh yang mulai menggigil karena air hujan tetap mengenai tubuhnya sekalipun ia sudah menepi di teras rumah Adit.

"Ayo masuk, kamu bisa sakit nanti." Adit mengeluarkan kunci dari saku celananya dan membuka pagar rumah. Ia menarik lengan Rania agar masuk ke teras, "Ibu sama Vera sedang main ke rumah Bude, jadi mereka nggak ada di rumah."

"Kenapa kamu nggak menghubungi aku sama sekali?" Rania sudah tidak ingin berbasa-basi lagi. Ia mau segera menyelesaikan masalahnya dengan pria itu.

"Kan kamu sendiri yang bilang kalau nggak ada gunanya bicara sama aku?" Adit masih ingat dengan jelas ucapan Rania malam itu.

Rania seketika membuang muka karena tidak habis pikir dengan Adit, "Masa hal seperti ini aja kamu nggak tahu. Karena aku bilang seperti itu bukan berarti kamu nggak bisa menghubungi aku kan? Kamu nggak mau meluruskan apa yang sebenarnya terjadi malam itu?"

"Aku pikir kamu sudah mengerti dan nggak mau berurusan sama aku lagi."

"Maksud kamu?" tanya Rania lirih.

"Aku sudah jadian dengan Yuna. Baru saja tadi kita keluar dan aku menyatakan perasaanku sama dia."

Bagai tersambar petir, tubuh Rania benar-benar kaku setelah mendengar pengakuan Adit. Air matanya pun juga mengalir membasahi pipinya tanpa bisa ia cegah.

"Ran, aku pikir kamu sudah mengerti. Aku udah nggak ada rasa lagi sama kamu dan aku mulai nyaman dengan Yuna. Aku kira hubungan kita sudah selesai setelah malam itu," ucap Adit tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Tega kamu!" ucap Rania setelah berhasil menemukan kembali kata-katanya. Ia juga memukul dada Adit untuk meluapkan rasa kesalnya.

"Ran..." Panggil Adit sambil sedikit memohon agar Rania bisa mengerti.

"Aku berharap kamu meminta maaf dan memohon agar kita bisa kembali seperti dulu lagi. Aku berhari-hari menunggu kamu menghubungi aku dan aku siap memaafkanmu kapan saja... Tapi kamu malah?" Rania sudah terisak dengan suara yang cukup keras sekarang. Pukulannya di dada pria itu juga semakin keras dan bertubi-tubi. Ia tidak menyangka Adit akan berbuat seperti ini kepadanya.

Possessive BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang