Baby's Breath 9

142 27 0
                                    

Ray menatap lamat ke depan. Pada sebuah bangku yang kini tidak berpenghuni. Padahal dosen sudah masuk sejak setengah jam lalu, tapi tidak ada tanda-tanda orang yang biasa menempati bangku itu akan datang. Siapa lagi jika bukan Thea orangnya. Sekalipun kosong, tidak ada satupun orang yang menempati tempat duduk itu. Makanya entah mengapa bangku itu memang identik dengan Thea.

Seharusnya Ray merasa biasa saja ketika tidak mendapati Thea hari itu. Namun, perasaannya malah berubah tidak enak. Terasa seperti ada yang mengganjal. Semenjak mereka satu kelas di bangku menengah sampai sekarang, tidak sekalipun Ray pernah mendapati Thea absen menghadiri kelas. Apalagi tidak ada keterangan apapun mengenai kondisinya.

Seharusnya Ray tidak memikirkan itu lebih jauh dan bersikap masa bodoh seperti biasa, tapi rasanya sulit. Ray malah mendapati dirinya sendiri yang pulang menuju apartemen. Meninggalkan jadwal kelasnya yang belum usai. Mengabaikan telpon berulang dari sang kekasih. Ray hanya ingin segera pulang.

Begitu tiba di apartemen, Ray hanya mendapati kekosongan. Tidak ada Thea di sana. Namun, kemudian pandangannya tertuju pada meja makan. Ray memandang semua makanan yang telah mendingin di atasnya dengan lamat.

Itu bukan sarapan. Melihat menunya, Ray menduga Thea memasak itu semalam. Mungkin untuk malam meski heran semuanya masih dalam kondisi utuh. Namun, menilik porsinya yang cukup untuk dua orang, Ray langsung terdiam. Kedua tangannya terkepal erat saat menyadari bahwa mungkin Thea memasak itu untuk makan malam bersamanya.

Matanya terpejam erat saat menyadari itu adalah kemungkinan yang paling masuk akal. Entah mengapa, Ray merasa semakin tidak enak hati. Dia memang tidak pernah meminta, tapi jika Thea memang melakukan itu, dia merasa bersalah sekarang.

Mengesampingkan itu, Ray mulai bertanya-tanya keadaan gadis itu sekarang. Ray tidak pernah tahu kemana Thea pergi jika bukan ke kampus. Thea selalu berdiam di apartemen tanpa pergi kemanapun. Bahkan pulang ke rumahnya sendiri pun seperti terjadwal sebulan sekali. Makanya Ray malah berdiri di ruang tengah sambil berpikir keras akan kemungkinan keberadaan Thea sekarang.

Sampai kemudian suara pintu terbuka membuyarkan lamunannya. Ray melihat gadis di hadapannya yang langsung menghentikan langkah begitu menyadari keberadaannya. Selama beberapa saat, Ray terdiam sambil mengamati kondisi Thea. Sedikit mengernyit saat melihat wajahnya yang penuh lebam. Pandangannya turun ke bawah dan menemukan kaki Thea yang terbalut perban.

Ray tidak mengerti sama sekali. Makanya untuk menuntaskan rasa penasarannya, dia memutuskan mengeluarkan sebuah tanya.

"Kenapa?"

Bukan jawaban, melainkan Ray bisa melihat tangan Thea yang gemetar dan plastik obatnya jatuh begitu saja. Disusul dengan gadis itu yang menangis dan mungkin tubuhnya akan terjatuh ke lantai jika Ray tidak sigap menahannya.

Ini bukan kali pertama Ray melihat Thea menangis. Namun, melihatnya menangis sambil meraung keras seperti ini jelas adalah pertama kalinya. Ray terbiasa melihat Thea yang memasang wajah dingin sebelumnya. Mendengarnya menangis seperti sekarang, entah mengapa sangat membuat tidak nyaman. Rasanya sakit sekali. Mungkin itu juga yang pada akhirnya membuat Ray ikut meneteskan air mata.

Tidak ada yang bisa dia lakukan siang itu selain memeluk Thea semakin erat. Membuat tangis Thea sedikit teredam. Dalam hati, Ray berharap pelukannya akan membuat keadaan gadis itu sedikit lebih baik.

Ray tidak tahu berapa lama waktu berlalu, tapi dia tidak lagi mendengar tangisan Thea. Dia sedikit melonggarkan pelukannya dan mendapati mata gadis itu yang terpejam. Napasnya pun berubah teratur membuat Ray berasumsi Thea sedang tertidur. Dia sempat mengernyit karena tidak menduga Thea malah jatuh tertidur seperti ini. Meski begitu, Ray tidak mengatakan apapun dan memilih menggendong Thea menuju kamarnya. Setelahnya kembali ke ruang tengah untuk mengambil obat.

Baby's BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang