Baby's Breath 24

97 18 0
                                    

Ray tahu tidak semua harapan bisa saja terwujud. Sebagai manusia, dia memang hanya bisa berharap dan berusaha, tapi semuanya tetap berada di tangan Tuhan. Termasuk bagaimana kondisi Thea yang hari itu kambuh sampai harus dilarikan ke rumah ke rumah. Ibu mertuanya bilang awalnya Thea hanya mengalami mual dan muntal. Terasa wajar karena Thea memang sedang mengandung. Mungkin itu bagian dari morning sickness. Namun, semuanya berubah lebih parah karena Thea muntah tanpa henti dan berujung pingsan.

Ray yang awalnya sangat sibuk dengan pekerjaannya memutuskan langsung bergegas pergi tanpa memperdulikan apapun lagi. Di pikirannya hanya ada Thea, Thea, dan Thea. Tidak ada yang lain.

Pandangan Ray memperhatikan Thea yang kini berbaring dengan wajah pucatnya. Dia tidak mengatakan apapun. Memilih meraih tangan kanan Thea, menggenggamnya dengan erat kemudian mengecupnya berulang kali. Dalam hati berharap Thea akan segera siuman.

Harapannya baru terwujud satu jam setelahnya. Thea mulai membuka matanya perlahan. Terlihat kebingungan dengan situasi di sekelilingnya. Wajar karena dokter bilang memori Thea juga sedikit terganggu. Pantas saja dulu juga Ray sering melihatnya seperti orang yang linglung.

"Ray?"

"Yes, it's me, Love," jawab Ray sambil meraih tangan Thea kemudian membantunya untuk mendudukan diri.

"Kenapa aku ada di sini?"

"Kau pingsan karena muntah tanpa henti sehingga Mama membawamu kemari," jelas Ray perlahan. Ibu Thea sedang makan di luar sekarang. Ray yang menyuruhnya saat tahu ibu mertuanya itu belum sarapan sejak pagi.

"Maaf merepotkanmu."

"Jangan berkata seperti itu, aku tidak suka."

Sejak Ray memutuskan menikahi Thea dan setuju agar Thea melanjutkan kehamilannya, Ray sudah memikirkan kemungkinan risiko yang akan dihadapinya. Maka apapun yang terjadi, dia tidak akan menganggapnya sebagai sebuah hal yang merepotkan. Ini adalah pilihannya dan Ray akan bertanggung jawab penuh sampai akhir.

"Kau mau makan sesuatu?" tanya Ray yang dijawab dengan gelengan pelan oleh Thea. "Mau peluk." Ray tersenyum tipis mendengar itu. Dia mengubah posisinya sehingga duduk di samping Thea kemudian memeluknya erat.

Ray tahu nantinya hal ini bisa terjadi lagi dan dia harus siap dengan itu. Sulit, tapi sekali lagi Ray hanya bisa menerima semuanya. Tidak apa. Seperti yang pernah dikatakannya pada Thea, mereka pasti bisa menghadapi ini bersama. Mereka hanya perlu menguatkan satu sama lain dan yakin bahwa semua ujian ini akan berlalu. Waktu yang indah pasti akan datang untuk mereka suatu hari nanti. Ray yakin itu.

*

"Kau berubah dewasa dengan begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku merasa darah tinggi melihatmu menghamburkan banyak uang hanya untuk sebuah balapan konyol."

Ray tersenyum miring mendengar ucapan sang ayah. Entah bagaimana sang ayah malah terang-terangan mengenalkannya minggu lalu sampai seisi perusahaan kini tahu hubungan mereka. Minggu ini genap satu bulan Ray melakukan magang. Memang rasanya waktu berlalu dengan begitu cepat.

"Itu agar memudahkanmu jika ada sesuatu yang terjadi. Kau bebas pergi dan datang kapanpun tanpa takut akan ada yang memarahimu. Sangat tidak adil, tapi kali ini Papa yang menginginkannya. Prioritasmu adalah Thea sekarang." Begitu katanya alasan Papa memberitahukan hubungan mereka. Ray setuju hal itu memang tidak adil, tapi memang sangat membantu agar dia tetap siaga untuk menjaga keadaan Thea.

"Bagaimana keadaan Thea sekarang?"

"Baik. Besok kami akan pergi ke dokter untuk melakukan USG," jawab Ray dengan ringan. Sebenarnya itu juga alasannya datang ke ruangan sang ayah. Dia akan meminta izin untuk tidak masuk ke kantor besok.

Baby's BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang