Mulanya Ray menganggap bahwa perkataan Thea semalam mungkin hanya kekhawatiran sepihak saja. Rasanya Ray tidak ingin mempercayai bahwa orang tua Thea akan memintanya melakukan hal seperti itu. Sayangnya hal tersebut sungguhan terjadi. Ray ingat saat itu orang tua Thea dan kakaknya mengajaknya untuk berbicara. Tidak ada prasangka apapun saat itu. Ray hanya diam sampai ayah Thea mengatakan sesuatu yang mengejutkan.
"Dokter bilang masih ada waktu jika ingin melakukan aborsi. Usia kandungannya baru enam minggu."
"Apa?!"
Ray menatap tiga orang di depannya tidak percaya. Dia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa mungkin telah salah mendengar. Namun, begitu melihat ekspresi mereka semua, Ray tidak bisa menemukan raut bercanda sedikitpun. Lagipula rasanya sangat keterlaluan jika mereka bercanda dengan hal seperti ini.
"Ada alasan untuk itu. Kami bukan tidak mau menerima semua ini, hanya saja memang tidak memungkinkan bagi Thea untuk mengandung."
"Kenapa? Beri tahu aku apa alasannya."
Ray menatap ketiganya yang malah diam sekarang. Dia mendengus pelan mendengar itu. Mungkin mereka memang kecewa dengan sikapnya, tapi Ray bersumpah dia akan bertanggung jawab. Menjadi orang tua di usia semuda ini mungkin tidak akan mudah. Namun, Ray jelas tidak punya niatan untuk melenyapkan darah dagingnya sendiri. Dia sudah cukup dewasa untuk paham bahwa memang ini risiko yang harus ditanggungnya.
"Kami tidak bisa memberitahukan itu sekarang. Namun, yang pasti adalah aborsi itu harus tetap dilakukan."
"No, and I will always say no. We want the baby. We will keep the baby," Ray berujar dengan tegas. Dia mengingat kembali permintaan Thea semalam dan akan tetap memegang teguh hal itu.
"Tidak bisakah kau hanya mengiyakan saja?!" Ray menatap Theo yang kini memandang kesal ke arahnya. Jelas sekali lelaki itu tidak suka dengan jawabannya.
"Kenapa harus? Kenapa aku harus setuju untuk menghilangkan darah dagingku sendiri?"
"YOU KNOW NOTHING!"
"KALAU BEGITU BERITAHU AKU APA ALASANNYA SIALAN?!"
Ray tanpa sadar ikut meninggikan nada bicaranya. Dia seolah lupa dengan sopan santun sekarang. Namun, mau bagaimana lagi ketika respon Theo sangat memancing emosinya.
"Kalian tidak berhak menyuruhku melakukan itu. Thea bahkan tidak mau melakukannya. Aku juga tidak mau. Kami akan merawat bayi itu nantinya. Memangnya ada yang salah dengan itu?"
Ray menatap tiga orang di hadapannya secara bergantian. Dia bersumpah tidak akan pernah lari dari tanggung jawabnya. Dia bersedia merawat bayi itu nanti. Namun, tidak ada respon yang berarti. Theo malah langsung pergi setelah melemparinya dengan tatapan yang begitu tajam. Jelas sekali lelaki itu sangat marah padanya. Hal yang sangat tidak Ray mengerti karena menurutnya tidak ada yang salah dengan keinginannya untuk mempertahankan kandungan Thea.
Kini tersisa mereka bertiga yang terjebak hening. Ray diam-diam melirik ibu Thea yang terlihat melamun. Sisa-sisa kesedihan masih terlihat di sana. Hal yang kembali membuat Ray merasa bersalah. Sebanyak apapun disangkal, keluarga Thea pasti menaruh kecewa padanya. Mereka mungkin berharap selama tinggal bersama, dia akan bisa menjaga Thea dengan baik. Bukan malah berakhir seperti ini.
Ray berdehem pelan untuk mencairkan suasana diantara mereka sekarang. Dia melirik kedua orang tua Thea secara bergantian kemudian berujar, "Daripada membahas hal itu, bukankah lebih baik kita mencari tahu dulu pelaku yang telah melukai Thea?"
"Kami sudah tahu pelakunya." Matanya langsung membola karena itu. Terutama setelah mendengar lanjutan perkataan ayah Thea. "Pelakunya masih teman satu angkatan kalian. Mantan kekasihmu juga terlibat." Ray terlalu terkejut dengan satu kalimat itu. Dia menatap ayah Thea yang tersenyum penuh arti. "Kau tidak berpikir kami tidak tahu apapun selama ini kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby's Breath
Romance"Kenapa aku harus menikahi Theala?" "Karena kau pernah membuatnya menangis?" "Apa?" Rayden memandang sang ayah dengan pandangan bingung. Tidak mengerti apa korelasi dirinya yang pernah membuat Theala menangis dengan keharusan untuk menikahi gadis it...