Baby's Breath 27

82 16 2
                                    

"Awh!" Thea sedikit meringis saat tanpa sadar gelas di genggamannya terjatuh ke atas meja. Dalam hati bersyukur benda itu tidak terjatuh ke atas lantai yang mungkin akan menimbulkan bunyi nyaring. Thea tidak mau membuat keluarganya panik. Hari ini memang semua keluarganya berkumpul. Ayah dan ibu mertuanya juga datang berkunjung. Kini mereka semua sedang berkumpul di ruang tengah. Bermain bersama Ale.

Pandangannya memperhatikan tangannya sendiri yang masih gemetar. Thea langsung mendudukkan diri di kursi saat merasakan tubuhnya yang terasa lemas. Jujur, ini bukan pertama kalinya sejak dia keluar dari rumah sakit. Hal paling kecil mungkin adalah tremor yang terjadi pada tangganya, tapi Thea selalu berusaha menyembunyikan itu. Dia tidak mau Ray atau orang tuanya melihat dan nantinya berubah khawatir.

Thea sudah tahu bahwa belakangan penyakitnya mulai memburuk, terutama pasca melahirkan. Hal yang sejujurnya membuat Thea sangat takut. Thea takut akan kemungkinan paling buruk yang bisa terjadi. Dia tidak mau mati. Dia tidak mau meninggalkan kedua orang tuanya. Dia tidak mau meninggalkan kakaknya. Dan yang paling utama adalah dia tidak mau meninggalkan Ray dan Ale. Thea tidak mau. Dia ingin hidup selamanya saja bersama mereka.

"Kenapa hanya diam di sini?"

Tubuhnya sedikit terlonjak saat mendengar suara Ray memenuhi indra pendengarannya. Pandangannya berbalik ke belakang dan menemukan sang suami yang berjalan menghampirinya.

"Kenapa? Ada sesuatu?" Thea menggeleng pelan. Dalam hati bersyukur tubuhnya berangsur kembali seperti semula. Tidak lagi terasa lemas seperti beberapa saat lalu. Setidaknya dia tidak harus berpura-pura di hadapan Ray sekarang.

"Dimana Ale?"

"Di taman bersama yang lain," jawab Ray sembari mengambil sebuah piring. "Aku lapar dan mau makan dulu. Kau mau?" Thea menggeleng pelan. Dia ingat Ray memang belum sarapan karena entah mengapa sejak pagi tadi Ale terus merengek dan hanya akan diam begitu Ray menggendongnya.

"Makan saja ayo sini aaaa~~~"

Thea ingin menolak, tapi Ray terus menyodorkan sendok makan itu ke arahnya. Mau tidak mau Thea melahap makanan yang Ray berikan. Dia sedikit memekik saat Ray tiba-tiba saja mengangkat tubuhnya sampai berakhir di atas pangkuan lelaki itu. Bukannya lanjut makan, Ray malah memeluknya dan mengusakkan hidung bangirnya pada ceruk lehernya.

"Aku merindukanmu."

"Kau mengigau ya?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Kau selalu sibuk dengan Ale. Ah tidak. Kita memang sibuk dengan Ale sampai jarang berduaan sekarang."

"Kau cemburu?" tanya Thea sambil mencolek ujung hidung sang suami. "Tidak cemburu. Hanya saja bukankah kita juga berhak punya waktu berdua?" tanya Ray yang membuat Thea mengernyit. Dia menyadari seperti ada maksud terselubung dalam ucapan sang suami.

"Ayo kita berkencan besok."

"Bersama Ale?"

"Berdua, sayangku."

"Lalu bagaimana dengan Ale?"

"Kita bisa menitipkannya bersama Mama."

"Kenapa tidak dibawa saja?"

"Tidak mau. Aku mau berduaan denganmu."

Thea tersenyum tipis mendengar itu. Sebenarnya permintaan Ray terasa wajar saja baginya. Beberapa bulan ini mereka memang fokus sekali mengurus Ale sampai jarang berduaan. Bukan berarti Thea tidak senang. Dia senang sekali menikmati kesehariannya sebagai seorang ibu. Meski harus terbangun di tengah malam karena Ale yang menangis. Meski harus kurang tidur karena menemani Ale sepanjang. Meski harus bangun subuh karena Ale yang mengompol, dan banyak hal lain yang tidak bisa Thea jabarkan satu per satu. Namun, intinya dia merasa senang menjalani semuanya, terutama karena ada Ray yang menemaninya melalui itu semua. Maka rasanya tidak apa jika mereka menyisihkan waktu setengah hari saja untuk berdua.

Baby's BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang