Baby's Breath 6

156 30 9
                                    

"Sini, biar aku yang bawa."

Thea mengernyit melihat Ray yang mengambil alih keranjang cucian di tangannya. Kemudian membawanya menuju mesin cuci. Jangan heran, meski dibesarkan di keluarga yang kayak raya dengan harta berlimpah, Thea bukan anak yang manja. Dia terbiasa hidup mandiri sampai di titik pakaiannya pun sering Thea cuci sendiri. Dia jarang membawanya ke penatu kecuali memang tidak ada waktu untuk melakukannya sendiri. Pun, selama ini Thea juga membersihkan apartemennya sendiri tanpa dibantu asisten rumah tangga.

Melihat Ray yang kini berdiam di depan mesin cuci membuat Thea langsung menghampirinya.

"Bagaimana caranya?" tanya Ray yang ternyata tidak pergi dan tetap diam di sampingnya. Thea menatap lelaki itu dengan sebelah alis terangkat. "Benda ini. Bagaimana cara menggunakannya?" Ray bertanya ulang sambil menunjuk mesin cuci di hadapannya. Thea hanya menatapnya datar kemudian mulai menjelaskan dengan singkat.

Sebenarnya Thea tidak mengerti mengapa Ray tetap tidak kunjung pergi dan malah menemaninya mencuci. Thea sadar ini memang akhir pekan, tapi biasanya Ray akan pergi. Entah kemana Thea tidak tahu. Mungkin bermain dengan teman-teman atau kekasihnya. Ray punya segudang teman yang bisa diajak bermain, tidak seperti dirinya yang satupun tidak punya.

"Aku akan membantu."

Kelakuan Ray sangat aneh hari ini. Lelaki itu bahkan menawarkan diri untuk membantunya memasak. Thea malas meladeni sehingga akhirnya dia membiarkan saja. Asalkan Ray tidak mengacau, itu bukan masalah besar. Begitu pikirnya.

Siang itu, mereka makan bersama. Tadi pagi mereka hanya memakan sehelai roti karena entah mengapa Thea malas memasak. Pikirnya juga Ray sudah pergi sehingga dia berniat memasak saat siang saja. Tidak tahunya Ray malah tetap di apartemen. Maka anggap saja acara makan kali ini sebagai brunch.

Keanehan lain terjadi saat entah mengapa Thea malah mengiyakan ajakan Ray untuk menonton film bersama di ruang tengah. Mereka menonton dalam hening. Hanya suara para pemeran dalam film itu yang mengisi suasana di ruang tengah. Sampai suara dering telepon memecahkan fokus Thea yang sedang menikmati film.

"Halo, sayang. Iya, aku masih di apartemen."

Thea berusaha kembali memfokuskan pandangannya untuk melihat film yang sedang memunculkan konflik utama.

"Tentu saja. Aku akan menjemputmu nanti malam."

Tangannya mengambil segelas air di atas meja. Masih berusaha fokus menonton. Sulit karena pikirannya sudah bercabang pada banyak hal. Membuat Thea merasa sedikit pusing.

"I'll kiss you until you're going crazy. I'll make you moan my name."

Matanya terpejam erat saat mendengar itu. Kemudian kembali terbuka dan mencoba fokus pada film yang sebentar lagi akan berakhir. Tetap sulit di tengah suara Ray yang mendistraksi pikirannya. Thea tidak mengerti mengapa Ray melakukan hal itu di sini. Setidaknya seharusnya lelaki itu melakukan panggilan dengan kekasihnya di ruang yang lebih privat, misal kamarnya. Terutama karena topik pembicaraan mereka yang semakin lama semakin menjurus pada hal-hal yang lebih intim.

Tidak. Thea sama sekali tidak cemburu. Dia hanya risih mendengar percakapan keduanya. Makanya saat akhirnya film selesai dan Thea tidak mendapati tanda-tanda Ray akan mengakhiri sambungan teleponnya dengan sang kekasih, dia memutuskan beranjak pergi menuju kamarnya sendiri.

Sejujurnya, Thea memang tidak merasa cemburu. Namun, dia menyadari ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya. Selama ini Thea tidak pernah mempermasalahkan Ray yang berpacaran dengan siapapun. Thea selalu menganggapnya sebagai angin lalu. Namun, saat mendengar percakapannya dengan Lin beberapa saat lalu, Thea merasa sedikit tidak nyaman. Mengingat fakta Ray adalah tunangannya, untuk pertama kalinya Thea merasa perbuatan Ray sangat tidak etis. Ditambah sikap Ray yang berubah sedikit melunak padanya, Thea merasa semakin tidak nyaman.

Baby's BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang