Baby's Breath 25

91 18 1
                                    

Thea memandang lelaki di hadapannya yang baru saja keluar dari ruang ujian. Wajah Ray terlihat sedikit kusut. Berbeda dengan pagi hari saat lelaki itu berangkat dengan penuh semangat. Bahkan semakin semangat saat Thea memberikan ciuman singkat. Ray berubah bak orang yang baru saja memenangkan lotre. Namun, sekarang ekspresi itu sudah tergantikan. Mungkin Ray pusing dengan ujian yang telah dijalaninya.

"Kenapa wajah suamiku sangat kusut sekali?" tanya Thea sambil mendekat yang membuat Ray langsung terlonjak. Meski tidak lama karena lelaki langsung memeluknya dengan erat sampai Thea merasa sedikit sesak, tapi dia tidak mengatakan apapun saat Ray terasa mengusakkan hidung bangirnya pada ceruk lehernya.

"Aku pusing sekali," bisik lelaki itu yang membuat Thea tersenyum samar. Tebakannya ternyata benar. Ekspresi kusut Ray memang akibat ujian ini. Thea memutuskan mengajak Ray untuk duduk di bangku yang tidak jauh dari posisi mereka sekarang.

"Kalau aku tidak lulus bagaimana?"

"Pasti lulus. Kau sudah melakukan semuanya dengan baik. Aku yakin."

"Benarkah?" Thea mengangguk berulang kali. Tangannya terulur mengelus wajah Ray kemudian merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan. "You really did a great job. Hasilnya pasti akan sepadan." Thea kemudian mengeluarkan sesuatu dari paper bag yang dibawanya. "Hadiah kecil untukmu," ujarnya sambil memberikan sebuket bunga yang disambut Ray dengan senang hati. Buket bunga artifisial yang diam-diam dibuatnya belakangan ini

"Cantik sekali," gumam Ray sambil menyentuh setiap bunga di sana. "Ada suratnya," lanjut lelaki itu sambil membuka sebuah kartu ucapan yang sengaja Thea selipkan. Dia bisa mendengar Ray yang menguar tawa pelan setelahnya.

"Kenapa kalian manis sekali hm?" tanya Ray sambil menghadapnya. Thea menggeleng pelan kemudian berujar, "Because we are so proud of you, Papa."

Bibirnya tanpa sadar mengulas senyum ketika Ray menariknya dalam sebuah pelukan sambil kembali membisikkan banyak kata cinta di telinganya.

"I love you. I love the baby. I love you both. I really mean it."

Thea tahu itu. Dia tahu bahwa Ray memang sangat mencintai mereka berdua dan Thea harap memang akan seperti itu selamanya.

*

"Kalau bayinya perempuan tidak apa-apa?"

"Memangnya kenapa?"

Ray memandang Thea yang kini bersandar di pundak kanannya. Mereka sedang bersantai di balkon rumah Thea. Sejak dua hari lalu mereka memutuskan menginap di rumah orang tua Thea. Alasannya karena Thea bilang tiba-tiba merindukan kamarnya.

"Siapa tahu Ray ingin punya bayi laki-laki."

"Laki-laki atau perempuan sama saja bagiku. Hal paling penting adalah kau dan bayinya sehat. Itu saja," ujar Ray sambil mengelus kepala sang istri. Dia tidak pernah mempermasalahkan jenis kelamin bayi mereka nantinya. Lelaki atau perempuan sama saja di matanya.

"Kalau begitu besok boleh kan kita melakukan USG supaya tahu jenis kelaminnya?"

"Tentu saja."

Besok adalah jadwal pemeriksaan rutin kandungan Thea. Usia kehamilannya sudah memasuki tujuh bulan. Kabar baiknya sampai sekarang Thea belum pernah mengalami relaps lagi. Sungguh, hal itu snagat membuat Ray bersyukur. Kabar baik lain adalah minggu lalu dia dinyatakan lulus dan bisa mengikuti acara kelulusan bulan depan. Ray merasa tidak sia-sia dia belajar dengan keras hingga hasilnya sangat memuaskan seperti ini.

"Ray, aku mau tidur. Boleh kan?" tanya Thea tiba-tiba membuat Ray mengangguk. "Iya tidur saja. Nanti aku bangunkan saat makan malam," jawab Ray sambil menarik Thea semakin mendekat. Mendekap tubuh istrinya itu dengan erat.

Baby's BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang