Baby's Breath 21

98 19 0
                                    

Ray memperhatikan Thea yang kini berjalan lebih dulu di depan sana. Mereka baru sampai di basemen beberapa menit lalu dan kini sedang menyusuri lorong. Begitu masuk ke dalam apartemen, Ray merasakan suasana yang begitu dingin. Terutama karena lampu yang juga mati dan gorden yang belum ditutup. Begitu lampu menyala dan Ray bisa melihat keadaan sekeliling dengan jelas, dia merasa sedikit heran karena apartemen ini sepertinya tidak ditempati beberapa hari belakangan.

Pandangannya kemudian melirik Thea yang kini duduk di sofa ruang tengah. Dalam hati bertanya-tanya apakah perempuan itu memang pergi juga atau bagaimana?

Membuang jauh pertanyaannya, Ray memilih ikut duduk di sofa sehingga kini mereka berhadapan. Hening terjadi selama beberapa saat karena tidak ada satupun diantara mereka yang berani membuka suara. Sampai kemudian Ray melihat Thea yang menarik sesuatu dari bawah meja dan menyodorkannya ke hadapannya. Selembar kertas.

Kedua tangannya terkepal erat saat sudah bisa melihat dengan jelas apa isi kertas tersebut. Bukan sembarang kertas. Itu adalah sesuatu yang menjadi sumber perdebatan mereka beberapa waktu belakangan ini.

"Aku tidak pernah bermaksud ingin menyusahkan semua orang. Aku tidak pernah bermaksud menjadi orang yang begitu egois. Aku tidak pernah bermaksud menjadi orang yang tidak tahu diri."

Ray mengangkat pandangannya dan memperhatikan tatapan Thea yang terlihat menerawang jauh.

"Aku hanya ingin... menjadi seorang ibu. Ada setitik rasa takut bahwa mungkin aku tidak akan bisa menjadi ibu yang baik. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa... senang." Tangannya semakin terkepal erat melihat Thea yang tersenyum simpul. Mungkin tidak selebar senyum yang Ray lihat untuk pertama kalinya. Namun, Ray akui senyum itu begitu indah dan seharusnya Thea bisa lebih banyak tersenyum. Smile looks so good on her beautiful face.

"Aku senang ada bayi di sini," ujar Thea sambil menyentuh perutnya sendiri dan entah mengapa mata Ray mulai memanas. "Aku... aku senang sekali. Aku tidak bisa mengatakan semuanya, tapi aku senang. Aku senang akan menjadi ibu. Aku senang membayangkan bahwa di masa depan akan ada seseorang yang akan memanggilku, 'Mama', 'Ibu', something like that. Makanya mungkin tanpa sadar aku berubah egois dan berpikir akan melakukan apapun untuk mewujudkan semua itu." Thea memejamkan matanya sejenak sambil menghela napas panjang. Tubuh Ray berubah beku saat Thea kembali membuka matanya perlahan dan menatapnya. Mata perempuan itu seakan menguncinya.

"Tapi apa yang kau katakan ada benarnya. Aku egois. Aku tidak tahu diri. Meski jujur saja, aku tidak pernah berpikir ingin menyulitkan siapapun. Aku pikir aku akan bisa menangani diriku sendiri, tapi kau benar. Sepertinya aku lupa... aku lupa kalau aku memang sesakit ini. Mungkin nantinya aku juga tidak akan bisa melakukan apapun tanpa bantuan kalian. Jika aku tetap keras kepala, aku hanya akan menyusahkan kalian semua. Maafkan aku."

Ray memejamkan matanya dengan air mata yang tanpa sadar mengalir deras.

"Maaf karena kehadiranku pada akhirnya menjadi beban yang besar bagi kalian semua. Aku... maafkan aku. Sekarang aku setuju untuk melakukannya."

Ray membuka matanya perlahan dan mendapati Thea yang masih memandangnya. Mungkin perempuan itu tidak menangis, tapi Ray mendapati tatapannya yang berubah kosong. Pandangannya kemudian teralih ke atas meja. Menatap nanar pada selembar kertas yang dibubuhi tanda tangan Thea di sana. Sebuah persetujuan untuk melakukan aborsi.

Setelahnya hanya hening yang menyelimuti mereka. Pikiran Ray terasa semrawut dan perasaannya terasa campur aduk sampai tidak tahu harus mengatakan apapun. Bahkan dia hanya mampu memandang Thea yang kini beranjak menuju kamarnya dalam diam.

Ray langsung mengusap wajahnya dengan kasar begitu telah ditinggalkan sendirian di ruang tengah. Seluruh perkataan Thea sebelumnya terus bergema di dalam kepalanya. Ray sadar dia telah sangat menyinggung hati Thea. Namun, demi Tuhan Ray tidak pernah sedikitpun menganggap kondisi Thea saat ini adalah sebuah beban. Dia hanya tidak mau Thea semakin kesakitan. Bayinya juga. Ray tidak mau keduanya mengalami itu. Pilihan yang sesungguhnya sangat sulit, tapi memang hanya itu pilihan yang paling baik.

Baby's BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang