54. Facing The Dark

8 1 0
                                    

Vote dan share untuk mensupport saya okeh
.
.
.
.
.
.

26 February, Midnight.

"Mengapa kalian se-bersikeras ini? padahal kalian dalam kondisi tersiksa, loh," ungkap Gallamy heran.

Reijika menjawab, "Mau setersiksa apapun, kami takkan membocorkan lokasinya, aahhh!" Seketika sebuah batang besi kecil di lempar ke kepalanya.
Dung! Plang! Berdarah, cairan merah itu mengalir cukup deras dari dahinya hingga wajahnya terlumuri olehnya.

"Ah, ittaai!(sakiit!)." Reijika memilih tidak mempingsankan dirinya dengan menggigit bibirnya, akibatnya kesadaran Reijika masih tetap ada. Nafas beratnya tampak terengah-engah. Setelah dipukuli dan di siksa dengan benda tumpul yang Gallamy miliki.

"H-hey! Sekasar itu kau dengan perempuan-"
Ctaang!
Lagi-lagi tongkat besi melayang, kali ini mendarat di dadanya. Hantaman benda keras itu membuat Groom kesulitan bernafas.
"A-aakhh, nafasku pengap!"

"Ayolah, cukup beritahu di kota mana Jenderal kalian berada susah amat," ucap Gallamy. "Kalian di doktrin apa sih sama Commander?" "Commander mengajarkan kami arti perjuangan. Kami tahu kami seakan tumbal, tetapi kami berjuang demi semesta!" ujar Holivia

"Begitu, ya?"
Gallamy untuk kesekian kalinya melayangkan sebuah benda keras ke kepalnya. Holivia pingsan seketika dengan tetesan darah yang mengalir dari kepalanya.

"Kalau perjuangan kalian demi semesta, baiklah. Aku malah semakin niat menyiksa kalian." Gallamy tiba-tiba pergi ke meja di sudut ruangan lalu mengambil sepatu sepakbola. Ia menyentuh tonjolan pada bawahnya lalu ia pergi mendekati orang paling ujung kanan, Reijika.

"Kau, berjuang demi semesta?"
"Aku berjuang demi orang yang aku cintai," jawab Reijika, "tak peduli mau terluka bagaimana pun, aku siap berkorban baginya!"

Bugh! Pukulan telak mendarat di wajah gadis cantik itu menyisakan bekas memar yang mulai berdarah di pipinya.
"Aaakkhh!" Reijika tertunduk lemas lalu berkata dengan suara lemah, "ku korbankan diriku demi kau, Turboy-kun. Akhirnya Reijika kehilangan kesadaran.

Kemudian Gallamy bergeser ke sebelahnya dan mengulang pertanyaan yang sama. Dan setiap jawaban apapun yang mereka keluarkan semuanya berakhir dengan pukulan sepatu yang menyakitkan.
"Sepertinya tak ada yang tersisa malam ini, semuanya pingsan. Hah, cukup berani juga mereka. Padahal itu hanya akan membuat mereka semakin menderita."

Kemudian, seseorang memanggilnya, "Selamat malam, Kolonel Gallamy." "Hah ...!" Gallamy langsung membalikkan badannya dan berlutut kepada sosok yang memanggilnya tersebut.

"Selamat malam, Lord Delow. Ada yang harus saya bantu?" ucap Gallamy. "Apakah kau sudah menangkap gadis oranye itu, Gallamy?"

"Gadis oranye? Maksud anda Emily? Euh, umm ...," Gawat, aku belum menangkapnya kembali, batin Gallamy.

"Apakah dia sudah kembali ke ruangannya?"
"Emm, i-itu ...."

....

"Syukurlah aku berhasil kabur," ucap Emily lega. "Baiklah, sekarang dimana jalan keluarnya?"

Emily berjalan menyusuri lorong yang berliku-liku. Jalan keluar tak kunjung di temuinya walau ia telah berjalan jauh.
"Duh, dimana ya?" Raut wajahnya menegang apalagi saat ia melihat pasukan VCo di ujung tikungan.
"Hah!"

Gawat! Emily mundur perlahan-lahan untuk menghindari kontak mata dengan orang itu. Ia pun mundur, sampai akhirnya pergerakannya terhenti oleh sesuatu di belakangnya.
"Eh? Apa itu di belakangku?" Emily membalikkan badannya dan boom!

The Trinity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang