Suara pintu memasuki ruang UGD membuat Fara dan Arga menoleh. Seseorang yang ia tunggu sejak tadi akhirnya datang.
"Sayang." Buliran bening menetes kembali mengenai pipinya. Fara mendekati Aliya yang baru datang, langsung memeluknya. "Maafin Bunda sayang."
"Kenapa Bunda meminta maaf? Aliya nggak apa-apa. Bunda enggak usah khawatir."
Fara melepas pelukannya lalu menyentuh kedua pipi Aliya. Tatapannya kepada putrinya begitu sangat tulus. "Gara-gara, Bunda, kamu hampir celaka. Bunda nggak bener jaga kamunya tadi."
"Enggak, Bun. Bunda nggak salah, ini Aliya yang enggak bisa hati-hati."
Hafizh berjalan mendekati brankar yang ditempati seorang perempuan. "Kondisinya bagaimana, Yah, Haruka?" tanyanya menatap perempuan tersebut, di mana matanya masih terpejam. Kepalanya dibaluti perban untuk menutupi lukanya.
"Alhamdulillah tidak parah. Hari ini sudah boleh di bawa pulang. Sudah sempat siuman tadi, tapi tidur lagi. Butuh istirahat dia."
Hafizh menatap Haruka dari atas ke bawah untuk memastikan kondisinya. "Maaf Haruka. Saya telat menolong kamu, dan kondisi kamu seperti ini gara-gara saya. Perempuan itu mengatakan suka kepadaku Haruka, sampai berani melukaimu dan kakakmu. Saya pastikan perempuan itu dihukum seadilnya," batinnya.
Arga menyentuh bahu Hafizh. Dia bisa merasakan kekhawatiran calon menantunya kepada calon istrinya. "Dia baik-baik saja, tidak usah terlalu khawatir."
"Ayah, maaf, saya tidak bisa menjaga Haruka dengan baik. Dia seperti itu penyebabnya saya."
Arga menatap Hafizh. "Jangan selalu menyalahkan diri sendiri. Ini bukan salah kamu, Nak, melainkan salah penculik itu."
¶¶¶
Tiga hari Haruka rawat jalan dan masih lemas untuk keluar rumah berlama-lama, sehingga persiapan untuk mengurusi semua keperluan pernikahannya jadi sedikit terhambat. Bukan berarti tidak jalan, buktinya saja orang butik yang ke rumah Haruka untuk mengecek size sebagai pembuatan gaun resepsinya nanti. Ini berbeda dengan gaun yang dikirimkan Hafizh. Sengaja disendirikan gaun antara akad nikah dan resepsi.
Sejak pukul 09.00 pagi Hafizh di rumah Haruka, tidak hanya berdua. Di dalam rumah masih ada bunda dan kakaknya Haruka, hanya saja Arga masih di toko.
Hafizh memandangi setiap gerak-gerik Haruka saat diukur. "Haruka kamu sudah menentukan desain bajunya?" tanyanya kepada perempuan yang masih mengenakan perban di kepalanya.
"Sudah tadi, kamu belum lihat, Mas?" tanya Haruka dibalas Hafizh dengan gelengan pelan. "Mbak, nanti perlihatkan ke calon saya. Siapa tahu dia tidak setuju dengan model bajunya."
"Model bajuku ngikut kamu aja Haruka. Asal warnanya nggak pink aja."
Jinara dan Haruka tertawa. Jinara seorang Fashion designer di butik langganan umi Laila. Hafizh pun juga percaya dengan orang-orang butik langganan uminya. Karena, uminya sendiri yang testimoni dan menyarankan butik itu. Produknya, cantiknya sangat luar bisa.
"Nggak apa-apa, Mas, nanti lihat gambar desainnya aja dulu." Jinara telah selesai mengukur bagian pinggang Haruka. "Ok. Sekarang ganti Pak Hafizh yang saya ukur."
Hafizh berdiri mendekati Fashion designer tersebut, untuk diukur juga. Tidak membutuhkan waktu lama lagi, telah selesai sesi pengukuran. Jinara pun buru-buru segera ke pelanggan lain.
Setelah kepergian Jinara, ada tamu lain datang ke rumah Haruka. Perempuan mengenakan hijab terusan hitam itu berdiri, hendak keluar, tetapi Hafizh menahannya.
"Kamu istirahat dulu aja Haruka, biar saya yang menemui seseorang itu." Haruka senyum dengan perintah Hafizh. Dia pun duduk ke sofa kembali, kebetulan sedari tadi mereka berdua berada di ruang tamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavandula [SELESAI]
RomanceAshana Haruka Faradila adalah gadis tomboi dan pemberani. Salah satu gadis penyuka bunga Lavender berasal dari keluarga kurang mampu dan berbagai masalah yang ia hadapi. Selain itu, ia memiliki kakak perempuan yang jiwanya sedikit terganggu akibat...