◆ 18

222 30 5
                                    

𝓑𝓮𝓻𝓽𝓪𝓱𝓪𝓷 𝓪𝓽𝓪𝓾 𝓛𝓮𝓹𝓪𝓼𝓴𝓪𝓷?
ᴀᴜᴛʜᴏʀ : citracpd

⇄ ◀ 𓊕 ▶ ↻

Malam itu, suasana di pinggir kolam renang terasa mencekam, bertentangan dengan ketenangan air yang menggenang di permukaan. Mereka berenam duduk berjajar, mencari pelarian dari kegelisahan yang mendalam. Angin malam menerpa kulit mereka, membawa serta hawa dingin yang meresap, menggandeng cahaya bulan yang bersinar terang dan lampu-lampu kecil yang berkelip indah, menghiasi tempat itu dengan lembut.

Blaze, yang sejak tadi tampak gelisah, akhirnya memecah keheningan. "Maaf ya, acara menginapnya jadi berantakan begini," ujarnya, disertai tawa kikuk yang terdengar hampa. "Padahal tadi kita asik nonton film hantu."

Mendengar itu, mereka semua hanya mampu mengulum senyum lemah. Tawa Blaze tidak cukup kuat untuk mengusir bayangan gelap yang mengendap di benak mereka. Ice, yang duduk paling dekat dengan Zahra, menoleh dengan cemas. Zahra, gadis yang biasanya ceria, kini hanya bisa terdiam dengan mata sembab akibat tangisan yang tak kunjung berhenti.

"Kamu tidak apa-apa, Zah?" tanya Ice dengan nada lembut, meskipun ia tahu pertanyaannya tidak memiliki jawaban yang memuaskan.

"Menurutmu?" jawabnya lirih, suaranya hampir tak terdengar di tengah desiran angin malam.

Ice hanya bisa menggaruk kepalanya, merasa bersalah karena pertanyaannya yang sebenarnya tidak perlu. Tentu saja Zahra tidak baik-baik saja, pikirnya dengan perasaan nelangsa. Teman-teman mereka yang lain—Yaya, Ying, Gopal dan Fang—hanya bisa duduk terdiam, membiarkan keheningan itu menguasai.

"Ice?, Hali emangnya sering diperlakukan seperti itu?" tanya Fang.

Ice mencoba mengingat momen-momen sebelumnya,  menemukan ingatan tentang ayahnya yang marah besar seperti tadi tak pernah ada sebelumnya.

"A-aku tidak tahu, baru kali ini aku melihat Ayah seperti itu," jawab Ice, suaranya bergetar.

Mereka semua mendengkus kesal, kekecewaan terlihat jelas di wajah mereka. Angin malam yang sejuk kini terasa seperti tamparan dingin di kulit mereka, mengingatkan betapa rapuhnya mereka di hadapan kenyataan pahit ini. Cahaya bulan dan lampu-lampu kecil terus menerangi mereka, tetapi sinarnya tak mampu mengusir bayangan gelap yang menyelimuti hati.

Malam itu, di pinggir kolam renang, mereka berenam merasakan kegetiran yang sama. Keheningan yang menggantung di udara bukanlah keheningan yang menenangkan, melainkan keheningan yang dipenuhi kegelisahan, ketidakpastian, dan rasa sakit yang mendalam. Mereka duduk di sana, merasakan setiap detik berlalu dengan lambat, berharap esok akan membawa sedikit kedamaian di hati mereka yang resah.

-----------------

Ceklek

Kamar itu menjadi saksi bisu dari ketegangan yang tak terelakkan. Suasana mencekam memenuhi ruangan saat suara pintu yang ditutup dengan kasar merambat ke seluruh penjuru. Amato, dengan wajah merah padam oleh amarah, meninggalkan kamar Halilintar dengan langkah tegas. Pintu itu segera terkunci rapat, seolah ingin memastikan agar Halilintar, yang kini terbaring lemah, tidak dapat keluar.

Thorn, mendekati ayahnya dengan hati-hati. Matanya yang besar dan penuh harap menatap Amato, memohon dengan lirih.

"Ayah, aku ingin melihat Kak Hali sebentar saja." Tangannya yang kecil menarik lengan ayahnya, mencoba menarik perhatian.

Rengekan Thorn memenuhi ruangan, memohon dengan tulus agar diperbolehkan masuk melihat kakaknya yang sakit.

"Aku mohon, Ayah, sebentar saja," lanjutnya dengan suara serak karena air mata yang terus mengalir.

Bertahan atau Lepaskan? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang