◇ 29

198 27 2
                                    

𝓑𝓮𝓻𝓽𝓪𝓱𝓪𝓷 𝓪𝓽𝓪𝓾 𝓛𝓮𝓹𝓪𝓼𝓴𝓪𝓷?
ᴀᴜᴛʜᴏʀ : citracpd

⇄ ◀ 𓊕 ▶ ↻

Langit yang berwarna biru cerah, seolah-olah ikut merayakan kelulusan Thorn dan Solar, dua anak bungsu keluarga Amato dan Mara. Sekolah telah dipenuhi oleh tawa dan sorak-sorai, sementara aula dipenuhi oleh orang tua yang bangga, sanak saudara yang datang jauh-jauh untuk menyaksikan momen bersejarah ini. Thorn dan Solar berdiri di atas panggung, mengenakan toga dengan wajah yang dipenuhi kebahagiaan. Mereka menerima ijazah mereka dengan senyum lebar, melambaikan tangan kepada keluarga mereka yang duduk di barisan depan.

Amato dan Mara, bersama anak-anak mereka yang lain yaitu, Taufan, Gempa, Blaze, dan Ice berdiri memberikan tepuk tangan yang hangat. Momen itu terasa penuh makna, namun di balik semua kegembiraan itu, ada kesunyian yang menggantung, seperti awan gelap di ufuk yang jauh.

Setelah upacara selesai, keluarga itu berkumpul di luar aula. Thorn dan Solar dikelilingi oleh Fang, Gopal dan Ying, mereka semua memberikan ucapan selamat, bersenda gurau tentang masa depan dan rencana mereka. Tawa dan canda mereka menambah kebahagiaan di sore yang indah itu.

Tetapi bagi Gempa, ada sesuatu yang menggelitik di hati. Meski ia turut berbahagia atas kelulusan adik-adiknya, pikirannya terus menerawang jauh, menembus kenangan-kenangan lama yang tidak bisa ia lupakan. Tangannya, yang hanya tinggal sebelah, bergetar ringan saat ia memegang lengan adik bungsunya, Solar, dengan bangga.

"Ayo kita pulang," ajak Amato setelah semua sesi foto dan salam-salaman usai.

Perjalanan pulang terasa panjang bagi Gempa. Di setiap detik yang berlalu, bayangan tentang dua orang yang hilang dalam hidupnya terus menghantui pikirannya.

Saat mobil melewati sebuah toko bunga di pinggir jalan, mata Gempa terpaku pada papan nama yang familiar. Toko bunga milik Yaya, salah satu teman lamanya, berdiri dengan tenang di sana. Tiba-tiba, dorongan untuk singgah muncul dalam dirinya. Tangan Gempa dengan cepat  menepuk pelan bahu Amato, mengisyaratkan untuk berhenti sebentar.

“Ayah, Bunda, aku ke toko bunga sebentar, mau beli sesuatu,”

Amato dan Mara mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, memahami keinginan putranya yang sering diliputi kesedihan tersembunyi.

Gempa melangkah keluar dari mobil, menahan udara dingin yang menyelimutinya. Ia berjalan memasuki toko bunga yang wangi semerbak, menghantamnya dengan perasaan nostalgia yang perih. Yaya, yang sedang merapikan bunga-bunga di etalase, menoleh dan tersenyum lembut saat melihat Gempa masuk. Ia tahu, tanpa perlu bertanya, bahwa ada luka yang masih berdarah di dalam diri lelaki itu.

"Gempa, ada yang bisa kubantu?"

Gempa hanya mengangguk pelan. Tanpa banyak bicara, ia langsung menuju sudut di mana bunga mawar ditata dengan rapi. Tangan kanannya menyentuh kelopak-kelopak lembut yang berwarna merah muda, warna yang menjadi favorit Cahaya semasa hidupnya.

Kenangan tentang senyum manis sahabatnya itu kembali menghantam perasaannya, membuat matanya berembun sejenak. Ia memilih satu tangkai mawar merah muda yang paling indah, kemudian matanya tanpa sengaja beralih pada deretan bunga mawar putih di sebelahnya—warna kesukaan Halilintar.

Dadanya terasa sesak saat melihat mawar itu. Satu perasaan bersalah yang telah lama dipendamnya, karena ia tidak bisa menyelamatkan Halilintar dari nasib buruk itu. Musibah yang menimpa mereka berdua bertahun-tahun lalu masih membekas di ingatannya, dan kehilangan tangan kirinya hanyalah satu dari sekian banyak luka yang tak bisa sembuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bertahan atau Lepaskan? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang