◇ 20

136 27 0
                                    

𝓑𝓮𝓻𝓽𝓪𝓱𝓪𝓷 𝓪𝓽𝓪𝓾 𝓛𝓮𝓹𝓪𝓼𝓴𝓪𝓷?
ᴀᴜᴛʜᴏʀ : citracpd

⇄ ◀ 𓊕 ▶ ↻


Suasana di meja makan terasa begitu hening, seakan waktu berhenti. Tidak ada canda tawa yang biasanya menyertai sarapan pagi keluarga Amato, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang bertarung dengan piring.

Amato dan Mara memperhatikan raut wajah anak-anaknya yang biasanya ceria kini dihiasi rasa takut dan sedih. Semua mata tertuju pada tempat yang biasanya diduduki oleh Halilintar, yang hari ini tidak ikut sarapan karena dihukum oleh Amato.

Amato menghela napas panjang, berusaha keras untuk mencairkan suasana. Ia menatap keenam anaknya dengan pandangan penuh kasih sayang. Amato memutuskan untuk mencoba berbicara dengan Taufan, berharap bisa mengurangi ketegangan yang melingkupi mereka.

"Taufan, bagaimana persiapan acara perpisahan besok?" tanyanya, mencoba terdengar ceria.

Taufan hanya mengangkat bahu dan menjawab singkat, "Baik, Ayah."

Amato tidak menyerah. Ia mencoba memancing semangat anak-anaknya dengan topik yang lebih menyenangkan.

"Bagaimana kalau Ayah membelikan hadiah untuk Taufan dan Gempa yang besok akan wisuda?"

Mendengar kata "hadiah," anak-anak yang lain pun langsung menunjukkan ketertarikannya. Blaze, Ice, Thorn, dan Solar yang belum wisuda menatap Amato dengan mata penuh harap.

"Kalian mau juga dapat hadiah?" tanya Amato sambil tersenyum.

Anak-anaknya mengangguk dengan semangat, mata mereka semua berbinar menandakan bahwa mereka juga menginginkan hadiah.

"Tapi kalian belum lulus," lanjut Amato, mencoba menggoda mereka.

Mereka semua cemberut, membuat Amato tertawa kecil. "Baiklah, Ayah akan membelikan hadiah untuk semuanya,"

Wajah anak-anaknya pun berubah cerah. Mereka mulai menyebutkan permintaan masing-masing dengan antusias. Taufan meminta skateboard, Blaze ingin motor baru, Ice menginginkan boneka paus, Thorn meminta bibit tanaman, dan Solar memohon alat eksperimen baru.

Amato mencatat semua permintaan anak-anaknya dengan teliti di sebuah buku kecil. Namun, matanya tertuju pada Gempa yang sejak tadi belum mengutarakan permintaannya.

"Gempa, mau hadiah apa?" tanya Amato seraya tersenyum lembut.

Gempa masih terdiam, lalu ia menatap jam tangannya. Dengan cepat, Gempa menghempaskan kursinya dan berdiri.

"Nanti saja, Ayah! " ucapnya terburu-buru sebelum berlari meninggalkan meja makan.

Amato menatap kepergian Gempa dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia senang bisa melihat anak-anaknya kembali bersemangat. Namun di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di hati Gempa, sesuatu yang belum sempat diutarakan. Namun, ia yakin akan ada waktu untuk membicarakannya nanti. Sambil menghela napas, Amato menutup buku catatannya dan tersenyum kepada istri dan anak-anaknya yang lain, berharap hari ini akan berjalan lebih baik.

»»————>

Suasana ruangan yang sepi semakin terasa hampa. Gempa duduk sendirian di ruang OSIS yang masih kosong, menunggu rapat yang belum juga dimulai. Wajahnya dibenamkan di atas meja, seolah mencari kenyamanan di permukaan kayu yang dingin.

Pikirannya berkecamuk, dipenuhi oleh kejadian kemarin yang terus menghantuinya hingga membuatnya sulit memejamkan mata semalaman. Ketenangan ruangan tak mampu meredakan kegelisahannya, hanya memperkuat rasa kesendirian yang dirasakannya saat ini.

Bertahan atau Lepaskan? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang