◆ 19

151 30 3
                                    

𝓑𝓮𝓻𝓽𝓪𝓱𝓪𝓷 𝓪𝓽𝓪𝓾 𝓛𝓮𝓹𝓪𝓼𝓴𝓪𝓷?
ᴀᴜᴛʜᴏʀ : citracpd

⇄ ◀ 𓊕 ▶ ↻

Uggh...


S-sakitt...

Halilintar membuka matanya perlahan. Pandangan matanya kabur, namun ia dapat mengenali kamarnya yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang menyusup dari balik tirai. Hening malam itu membuat suasana semakin mencekam. Ia meringkuk di lantai yang dingin, mencoba melihat sekeliling.

Lantai kamarnya kotor, penuh bercak-bercak darah yang sudah mengering. Luka-luka di tubuhnya yang masih terasa perih mengingatkannya pada kejadian mengerikan. Kejadian di mana ayahnya menyiksa tanpa ampun.

Halilintar berusaha mengusir pikiran itu dari benaknya, namun rasa sakit di tubuhnya memaksanya untuk kembali mengingatnya. Perlahan Halilintar mencoba bangkit, namun tubuhnya yang lemah kembali terjatuh ke lantai, diiringi oleh rasa nyeri yang menyebar di sekujur tubuh.

Halilintar memegangi lengannya yang terluka. Darah sudah berhenti mengalir, namun rasa sakitnya belum juga mereda. Dengan susah payah, Halilintar menyeret tubuhnya menuju meja belajar, setiap gerakan diiringi oleh desahan menahan rasa sakit.

Sesampainya di meja, Halilintar meraih kursi dan mencoba berdiri. Tubuhnya yang gemetar perlahan berhasil duduk di kursi.

Halilintar menghela napas panjang sebelum membuka laci untuk mengambil kotak P3K. Dengan tangan yang gemetar, Halilintar menuangkan alkohol pada kain kasa dan mulai membersihkan lukanya.

"Eeerrghh," desisnya saat alkohol bersentuhan dengan kulitnya yang terluka.

Rasa perih yang menjalar membuatnya hampir tak kuat, namun Halilintar tetap menahannya. Ia membalut luka di lengannya dengan perban, mengikatnya dengan hati-hati agar tidak terlalu kencang.

Setelah selesai, Halilintar membalikkan kursinya dan menatap cermin yang ada di belakang meja. Bayangan dirinya yang terlihat di sana membuatnya semakin terpukul. Bajunya compang-camping, tubuhnya penuh lebam akibat pukulan dan tendangan ayahnya. Rambutnya yang dulu rapi kini berantakan, kotor oleh darah yang mengering.

Hiks...

Air mata mulai mengalir tanpa sadar, membasahi pipi yang penuh luka. Pikirannya melayang, mengingat kejadian-kejadian beberapa jam yang lalu, setiap detik terasa seperti mimpi buruk yang tiada henti.

Pikirannya penuh dengan wajah Amato yang penuh amarah, menghujaninya dengan pukulan demi pukulan. Kata-kata hinaan yang terlontar dari mulut Amato terus terngiang di telinganya. Halilintar menangis dalam diam, suaranya hampir tak terdengar di keheningan malam.

Berapa lama lagi ia harus merasakan penderitaan ini? Halilintar merasa hidupnya seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Ia lelah, sangat lelah. Halilintar juga ingin merasakan kehidupan yang tenang dan bahagia, tanpa ada rasa takut yang menghantui setiap langkahnya.

Halilintar merasakan air mata yang semakin deras mengalir. Wajah yang penuh luka dan lebam itu terlihat begitu tak asing lagi baginya. Halilintar meremas perban di lengannya, berharap rasa sakit itu segera hilang. Namun ia tahu, rasa sakit ini bukan hanya berasal dari luka di tubuhnya, tetapi juga dari luka di hatinya.

Dalam keheningan malam, Halilintar membayangkan kehidupan yang berbeda. Kehidupan di mana ia bisa bangun setiap pagi dengan senyum, bukan dengan rasa takut. Kehidupan di mana ia bisa merasakan kasih sayang, bukan kekerasan. Kehidupan di mana ia bisa bebas, tanpa ada beban yang menghimpit dadanya.

Bertahan atau Lepaskan? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang