◇ 22

121 27 0
                                    

𝓑𝓮𝓻𝓽𝓪𝓱𝓪𝓷 𝓪𝓽𝓪𝓾 𝓛𝓮𝓹𝓪𝓼𝓴𝓪𝓷?
ᴀᴜᴛʜᴏʀ : citracpd

⇄ ◀ 𓊕 ▶ ↻

Mereka sudah siap untuk pergi ke wisudanya Taufan dan Gempa. Di balik kebahagiaan hari besar ini, Gempa merasa khawatir dengan keadaan kemarin, di mana Amato tidak mengizinkan untuk bertemu Halilintar, meski hanya sebentar.

Apalagi, Solar yang ingin membuktikan bahwa Halilintar mengidap penyakit kanker otak, malah kehilangan amplop itu. Kaca jendela yang pecah dan berserakan di lantai membuat mereka panik.

"Ayah, aku... aku ingin bertemu dengan Abang," suara Gempa bergetar, hampir seperti bisikan yang putus asa.

Amato menatapnya, ekspresinya tetap dingin. "Kau tahu jawabannya, kan, Gempa?"

"T—tapi Ayah, Kak Hali memang beneran mengidap penyakit kanker otak!" Solar mulai ikut bicara.

"Pfftt—alasan apalagi yang kalian buat, hmm? Kalau beneran Hali punya kanker otak, mana buktinya? Tidak ada, kan?"

Solar mengepalkan tangannya di samping tubuhnya, mencoba menahan gemuruh emosinya.

"Buktinya ada, Ayah, tapi hilang! Aku ingat sekali terakhir kali aku menyelipkan amplopnya di buku dan obatnya aku taruh di laci meja belajarku! Ayah kan juga melihat sendiri tadi, jendela kamarku pecah, jadi ada yang penyusup yang masuk."

Namun, kata-kata Solar tampaknya tidak membuat ayahnya bergeming. Ia tetap menatap putranya dengan ketidakpercayaan yang jelas terlihat.

"Ayah tetap tidak akan memberi kalian izin untuk bertemu dengan Halilintar sebelum ada bukti. Bisa saja kan kalian berbohong?"

Mara menyisir rambut anaknya yang sudah tumbuh dewasa. Sudah lama ia meninggalkan mereka saat masih kecil. Namun, Mara melihat dari cermin, terlihat wajah anaknya yang sedih dan khawatir, membuatnya mengerutkan kening.

"Ada apa, nak? Kenapa wajahmu terlihat sedih?" tanyanya lembut.

Lamunannya buyar, Gempa menatap bunda dari cermin yang sedang menyisir rambutnya.

"Gempa masih mikirin abang Hali ya?" tanya bundanya.

Akhirnya, Gempa mengangguk pelan sebagai jawabannya. Mara menghela napas panjang dan menatap wajah anaknya dengan penuh kasih.

"Jangan terlalu khawatirkan abang ya, Nak. Nanti selesai wisuda, Gempa mau nggak jenguk abang Hali? Bunda juga sekalian mau ngantar makan siang untuk abang. Tapi Gempa janji ya, ini rahasia kita berdua," ucap Mara seraya menautkan jari kelingkingnya dengan Gempa.

Mata Gempa berbinar, ia memeluk ibundanya seraya menangis bahagia. Mara tersenyum manis seraya mencubit hidung Gempa dengan lembut.

"Iya bunda, Gempa janji  "

———

Kriett—

Sosok itu masuk ke ruangan dengan langkah pelan, menyelinap di antara bayang-bayang. Di sana, terbaring lemah seorang yang tubuhnya dipenuhi luka, napasnya terdengar berat.

Tanpa sepatah kata, sosok itu menyuntikkan obat ke lengan orang yang terbaring itu, gerakannya penuh ketenangan dan keahlian. Dengan hati-hati, dia menggantikan semua perban yang melilit tubuh si terluka, memastikan setiap luka tertutup rapi dan bersih.

Setelah semua selesai, dia memandangi sejenak hasil kerjanya, memastikan semuanya sudah sempurna. Kemudian, tanpa suara, dia keluar dari kamar tersebut, meninggalkan suasana yang kembali sunyi.

Bertahan atau Lepaskan? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang