Bab 31 || Final Battle

368 60 55
                                    

"Na—Naruto?"

"Aku tidak apa-apa," kata Naruto pelan. Iris safirnya masih menatap tajam Toneri yang melotot menahan sakit di leher. Naruto kemudian menghempas belati tadi dan mendorong tubuh Toneri hingga terjatuh.

"I—ini harus diobati dulu. Ayo kita cari Sai—"

"Tidak ada waktu lagi. Kita cari Neji saja," potong Naruto sambil mengatur napas. Tangannya mulai mati rasa. Namun sebisa mungkin ia tahan. Prioritas saat ini adalah Neji.

"Ta—tapi Naru—" Hinata panik, ia menangis. Jantungnya berdetak kencang melihat wajah Naruto yang memucat. Benarkah Naruto baik-baik saja? Ini racun berbahaya!

Naruto sangat paham rasa takut Hinata akan ditinggalkan. Namun sebelum seluruh tubuhnya mati rasa akibat racun yang menyebar, mereka harus sudah mendapatkan berkasnya.

Naruto tidak punya pilihan lain.

"Hinata, lihat aku, lihat aku," ucap pria itu lembut seraya menangkup wajah Hinata. "Aku akan hidup. Please, stay with me, jangan down, okay? Aku butuh kamu untuk membantuku."

Benar, kita harus bergerak cepat, dengan begitu Naruto akan diobati.

Hinata menarik napas, ia menghapus air matanya dan menatap iris safir Naruto yang masih tak beralih. Hinata pun mengangguk, lalu membalut tangan Naruto dengan perban ajaib Sai, agar setidaknya penyebaran racun dapat terhambat.

"Ayo," ajak Hinata seraya menarik tangan Naruto, sementara yang ditarik hanya diam menerima.

Mereka menyusuri lantai menuju ruang Presdir, bergabung bersama Gaara dan Sasuke. Dua pria itu masih sibuk bertarung. Para Ninja musuh semakin banyak berdatangan.

"Neji ada di ruang brankas," ujar Sasuke datar ketika menyadari kehadiran Naruto dan Hinata. "Kusarankan Hinata tidak masuk, tapi terserah."

Naruto mengangguk mengerti. Ia dan Hinata melangkah ke ruang brankas setelah memberi perintah, "Lima Ninja kemari. Bantu Sasuke dan Gaara."

"Baik, Master. On the way!" jawab para Ninja yang masih berada di luar.

"Hinata, ka—"

"Aku ikut denganmu," potong Hinata yakin. "Aku ikut."

Tanpa merespon lagi, Naruto menarik tangan Hinata ke ruang brankas. Ketika membuka pintu, mereka langsung disuguhkan pemandangan tidak mengenakkan. Neji berbaring di lantai, dengan mulut menganga penuh busa, akibat kepalanya ditusuk pisau yang masih menancap di sana.

"Tutup matamu kalau tidak kuat," ucap Naruto dan dijawab gelengan oleh Hinata.

"Tidak. Tolong jangan remehkan aku, Naru," bantah wanita itu mulai kesal

Kemudian Naruto menarik tubuh Neji, lalu mengarahkan bola matanya pada kamera brankas, sebagai akses untuk membuka pintunya.

Hanya butuh waktu beberapa detik, Naruto dapat membuka brankas. Ia dan Hinata pun spontan mengambil semua dokumen aset tanpa kendala, karena memang mereka hafal susunan peletakannya.

Mereka menumpuk dokumen penting itu menjadi satu. Ketika Naruto melepas kalung liontin yang diberikan Pantognostikos, ia mendadak batuk dan menyemburkan darah.

"Uhuk! Uhuk!"

"Naru!" seru Hinata reflek mendekat dan mengusap punggung Naruto. Ia membelalak melihat tangan Naruto sudah dipenuhi darah yang berceceran semakin deras. "Astaga, darahnya semakin banyak keluar!"

The Deepest of Love (NaruHina) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang