- Epilog -

544 64 65
                                    

Kepulangan Naruto sangat disambut baik oleh Warwolf, terutama para Ninja. Meski Naruto tidak mengingat mereka semua, ia seperti telah menemukan jalan kembali setelah selama ini merasa tersesat dalam mimpi tidur panjangnya.

Naruto menghabiskan masa pemulihan di apartemen mewah dua lantai di kota Berlin. Memiliki empat kamar tidur dan satu ruang kerja di lantai atas. Naruto, Hinata dan Boruto tinggal di apartemen tersebut. Satu-satunya harta yang tersisa atas nama Hyuga, dan kini sudah berganti pemilik menjadi Namikaze Naruto.

Hinata membeli apartemen ini dari hasil tabungan selama menjadi selebgram, sebelum sibuk menjalani aktivitas diburu dan memburu setelah kematian orang tuanya yang tiba-tiba. Hinata memberikan apartemen sebagai hadiah kelulusan sekolah Naruto beberapa tahun silam.

Tempat ini menjadi rumah mereka selama di Jerman. Hinata dengan telaten mengurus Boruto dan merawat sang suami. Perlahan, ingatan Naruto pulih, hingga tanpa terasa setahun berlalu, dan Naruto mulai kembali menjalankan aktivitas malam sebagai Assassin mulai dari enam bulan yang lalu.

Pria itu tak bisa menghentikan kontrak. Darahnya sudah menyatu menjadi bagian dari pekerjaan kotor ini. Pun selama enam bulan pemulihan, Naruto gelisah memimpikan orang-orang yang pernah ia bunuh. Mengapa? Jawabannya, ada pada para Sevas, yang selalu tak pernah luput memantau anggotanya.

Mereka mengawasi, memastikan Naruto masih menjadi bagian dari Pantognostikos, dan memintanya segera kembali bertugas.

Jadi, Naruto tak punya pilihan, bukan?

"Ayah!"

Suara teriakan Boruto dari kejauhan, membuyarkan lamunan Naruto. Sedari tadi, ia bersandar pada kap mobil, sedang menunggu putranya pulang sekolah. Senyum ceria dengan lesung pipi, terpatri di wajah imut replika Naruto versi mungil, dan ternyata, ia pun menampilkan wajah yang sama dengan putranya.

Naruto berlutut, menyambut Boruto ke dalam pelukan. Bahkan sudah enam bulan Naruto rutin mengantar-jemput, tapi antusias  putranya tak pernah hilang ketika memanggil nama 'Ayah' sambil berlari memeluk, membuat perasaan Naruto dipenuhi warna cerah tanpa sedikitpun ada gelap.

"Bagaimana harimu, Bolt? Apa menyenangkan?" Pertanyaan rutin setelah melerai pelukan. Naruto beranjak menggendong Boruto. "Kamu selalu meninggalkan Sarada. Setidaknya kamu harus membawanya bersamamu, Jagoan."

"Hari Bolt menyenangkan! Bolt belajar alat musik piano!" jawab Boruto sumringah, lalu ia memasang wajah cemberut dalam sekejap. "Bolt tidak meninggalkan Salada. Dia dan Inojin sedang belbicala dulu dengan Choco, jadi Bolt meminta izin menunggu bersama Ayah."

"Begitukah? Mereka memberi izin?"

"Ya!" Boruto mengangguk yakin. Mata birunya memperhatikan pakaian Naruto yang rapi. Padahal biasanya, si ayah selalu menjemput dengan celana pendek setelan ala rumahan. Ini karena sang bunda tidak rela ayahnya tebar pesona dan memanjakan mata ibu-ibu yang sedang menunggu anak mereka.

Boruto ingat sering mendengar Hinata berkata, "Kamu berpakaian rumahan saja sudah sangat menggoda iman! Kamu tidak boleh terlihat lebih tampan jika tidak ada aku di sisimu, bahaya! Sekarang lebih banyak buaya betina yang tidak tahu diri!"

Lalu anak itu hanya melihat sang ayah mengangguk patuh sambil mengedipkan mata padanya. Boruto bingung, apa hubungannya ayah berpakaian rapi dengan buaya betina? Lagipula, di sekolah tidak ada sungai. Ah, sudahlah, biarkan menjadi urusan orang dewasa.

"Ayah ingin kemana? Kenapa pakaiannya terlihat belbeda?" tanya Boruto akhirnya.

"Oh, iya. Karena hari ini Ayah tidak ada urusan pekerjaan, kita berangkat berlibur ke Vila, Bolt. Kamu bilang kemarin ingin piknik, 'kan?"

The Deepest of Love (NaruHina) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang