Di sebuah bangunan berlabel 'Konoha Group', Hinata berdiri di depan meja Presdir. Ia mengedarkan pandangan, pada ruangan yang sudah tak pernah dikunjunginya beberapa tahun ini.
Lalu secara mengejutkan, ruangan itu berubah dipenuhi bara api. Hinata panik, ia berkeliling mencari jalan keluar. Kemudian menemukan sosok Kakashi dengan jarak lima meter darinya, berdiri sambil memapah Naruto, dan diam menatap Hinata.
"Kakashi, Naru?" panggil Hinata. Ia mengerutkan dahi, merasa pernah mengalami hal ini. Lalu ia teringat saat kejadian itu. "Naru, awas!!"
Hinata spontan berlari kencang. Namun naasnya, plafon bangunan tiba-tiba runtuh menimpa mereka hingga terjatuh, membuat Hinata berhenti, termangu atas apa yang ia saksikan, berulang kali. Namun tetap saja, dadanya terasa sakit, seperti tertikam sesuatu yang tak kasat mata.
Perlahan, Hinata berjalan terhuyung ke tempat terakhir kali ia melihat Kakashi dan Naruto, yang kini sudah menjadi lantai berlobang.
Tidak ....
Hinata menggelengkan kepala tak percaya. Ia jatuh terduduk, menatap ruang gelap penuh bara api di bawahnya. "Naru?"
Napas wanita itu semakin memburu, sesak tak beraturan. Butiran air mata sudah membanjiri pipi mulus Hinata. Ia meremas dada, memukulnya sekencang mungkin. "Naru?!"
Akan tetapi sia-sia.
Hinata berteriak ingin disadarkan, tahu bahwa ini bukanlah nyata.
"Naru!"
Semakin memanggil namanya, rasa sakitnya justru semakin jelas dan menghancurkan. Hinata menangkup wajah dengan kedua tangan, ia meringkuk di lantai. Tak peduli jika tubuhnya dilahap api sekalipun. Ia hanya ingin meneriaki nama suaminya. Berharap mendapat jawaban agar ia kembali bangkit.
Namun lagi-lagi, itu tidak terjadi.
"Naru ...." panggil Hinata parau. Kemudian saat kobaran api mulai merambat, ia berteriak untuk terakhir kalinya, "Naru!!!"
***
"Naru!!"
Hinata terbangun bermandikan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Namun hal pertama yang ia lakukan adalah meraba-raba ke sebelah, seperti mencari sosok yang seharusnya berada di samping.
"Naru?" panggil Hinata, mulai gelisah ketika mengedarkan pandangan dan tak menemukan kehadiran sang suami. "Naruto?!"
Hinata baranjak tergesah-gesah. Ia menjelajahi setiap ruang seperti kamar mandi, dapur, ruang tengah, kamar Boruto, tapi tidak menemukan Naruto dimanapun.
Hinata menangis sambil berjalan kembali ke kamar. Ia tak akan pernah bisa tenang sebelum memastikan Naruto dalam keadaan baik-baik saja.
Sekalipun ia tahu suaminya masih hidup.
Kemudia tiba-tiba, Hinata mendengar suara pintu dibuka dari arah balkon kamar. Ia sontak membuka pintu, dan membeku pada tatapan iris safir yang langsung tertuju padanya.
Tanpa berkata apapun, Naruto bergegas berlari dan memeluk Hinata sangat erat. "Maaf, aku terlambat."
Naruto berusaha menenangkan Hinata yang gemetaran dan menangis tersedu-sedu, sambil menceritakan mimpi buruk tentang kematian dirinya. Pria itu dapat merasakan, trauma yang dialami Hinata seperti sebuah tusukan beracun, membuat sakit tak berdaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Deepest of Love (NaruHina) - END
Romance"Aku tak tahu harus menyangkalnya atau tidak. Apakah ini kesalahan atau bukan. Yang kutahu adalah, aku bahagia hanya dengan melihat senyummu. Aku terluka ketika air mata itu jatuh dari pipi mulusmu. Aku marah ketika ada orang yang mencoba menyakitim...