Selamat malam minggu. Selamat membaca. Tolong kerja samanya untuk meramaikan ❤️
****
Begitu Shada keluar dari kamar Reba, kini gantian ayah anak itu yang langsung memasuki kamar perempuan tersebut.
Di ambang pintu Rankit berdiri, menghadap lurus kepada Reba di sana yang masih bersedekap tangan di dada. Dari posisinya berdiri, Reba mengangkat tipis satu alisnya untuk Rankit.
"Selamat pagi, perempuan pemarah," timpal Rankit blak-blakan. Bahkan ia tak peduli pada sorot mata Reba yang sekarang telah memicing tajam untuknya.
Reba menghela napas berat. Rankit beserta wibawa jantannya memang amat menawan, memesona dan seolah menjerat, tetapi juga cukup melelahkan jika harus berhadapan dengan pria itu. Benar dia seorang pria pendiam, namun juga sangat nakal seperti para bocah. Entah bagaimana cara Rankit mengatur emosinya, sampai saat ini pun Reba masih tak memahami hal tersebut.
"Jangan menemuiku jika kau hanya ingin mencari gara-gara. Aku sedang tidak ingin membuang-buang emosiku," balas Reba tegas dan ia tak main-main.
Rankit memulai langkah lebarnya guna mendekati Reba. Selagi itu masih di dalam wilayah kekuasaannya, Reba tak ada hak untuk melarang. Dia pemilik kediaman megah ini sekaligus pemilik wanita keras kepala itu.
Dalam beberapa detik yang mengejutkan, Reba menahan pelototan tatkala Rankit seketika meraih pinggangnya, merengkuh tepat di bagian yang meliuk; melingkari pinggang ramping Reba tampak posesif.
"Aku minta maaf jika ada salah," ucap Rankit lembut. Setelahnya ia mencium pangkal hidung Reba.
Tidak ada yang salah dari Rankit. Satu-satunya kesalahnnya adalah, dia membawa kembali Reba ke sisinya, menggagalkan rencana wanita itu yang berkehendak untuk segera pergi. Reba menginginkan kebebasan, tetapi Rankit mengikatnya dan itu salah.
Setidaknya hanya di mata Reba, sebab bagi Rankit, Reba adalah wanitanya, miliknya, dan akan ia jadikan sebagai istrinya. Rankit menginginkan kehidupan yang baik dalam ikatan pernikahan, namun secara jelas Reba menunjukkan apabila ia keberatan.
Reba masih belum membuka suara, hanya ia balas tatapan Rankit dengan datar.
"Turun dan sarapan. Dari malam kau belum makan, jika aku tidak salah." Rankit melerai rengkuhannya, meraih salah satu tangan Reba kemudian ia genggam ringan.
"Terima kasih. Aku tidak lapar." Perlahan Reba menarik tangannya dalam genggaman Rankit. Tangan lebar yang menggambarkan betapa kuatnya pria itu, berjari-jari besar dan panjang serta tampak kokoh. Tangan yang juga tampan seperti pemiliknya. Tangan yang sedang mengendalikan kejayaan partai Liben.
Rankit mengangguk dan mata indahnya tak berpaling dari wajah cantik Reba. "Jadi apa yang kau dan Shada bicarakan? Aku melihat dia tersenyum-senyum saat keluar dari kamarmu barusan."
"Urusan perempuan, lelaki tidak diizinkan untuk tahu." Acuh tak acuh Reba membalas. Ia lalu berputar badan hingga kini membelakangi Rankit.
"Kalian membahas Thanya?"
"Apa itu penting bagimu?" Ke samping Reba melirik, menemukan bayangan gagah Rankit di lantai.
Dari sisi kanan, Rankit pun melangkah dan berpindah ke sisi kiri Reba. Ia kembali terpaku di wajah Reba nan memandang lurus ke arah luar.
"Kau marah akan sesuatu yang telah berlalu?" Pertanyaan Rankit membuat Reba kembali meliriknya secara tajam.
"Sebentar, Sultan Liben." Reba menghadap Rankit, dagunya sedikit terangkat. "Kau benar-benar mengira aku pergi karena marah akibat perasaan cemburu?" Dalam hidupnya yang keras, Reba tak pernah merasakan cemburu terlebih itu hanya mengenai cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMMORAL
RomanceWanita tetaplah wanita. Wanita ialah makhluk lemah perasa, perasaannya yang selalu lebih unggul dari logikanyalah yang membuatnya lemah sehingga berakhir dengan dipandang sepele. Wanita tetaplah wanita, mereka terbatas dan tak pernah diberi kesempat...