CHAPTER 29

11.8K 1.6K 1.6K
                                    

Mention kalau menemukan typo. Dan tolong kerjasamanya yaa, tolong diramaikan. Happy reading ❤️

****

"Pergilah tidur. Besok Ayah yang akan mengantarmu ke sekolah."

"Tapi lukisanku belum rampung..." Bahu kecil Shada melemas. Tugas melukisnya belum selesai, sementara ia juga telah merasa kantuk.

Di kalangan para guru, Shada telah dikenal sebagai murid yang tekun. Gadis itu tak pernah absen dari semua tugas-tugas yang diberikan, Shada tak pernah membiarkan nilainya buruk, ia tahu tugasnya adalah untuk membanggakan sang ayah.

Tetapi kali ini, Shada tak menjamin dirinya akan mendapat nilai yang bagus. Kelas seni yang diikutinya, memberinya tugas menggambar dan Shada merasa ia benar-benar tak berbakat dalam hal melukis.

"Biar Ayah selesaikan." Rankit berusaha menghibur. Hampir pukul dua belas malam dan Shada belum tidur karena masih terus melukis. Lukisan ini telah Shada mulai dari dua hari lalu, dan besok adalah tenggat waktunya.

"Jangan bercanda, Ayah. Aku tahu Ayah tak bisa melukis. Lukisanku yang sudah kacau ini akan menjadi lebih kacau lagi di tangan Ayah." Shada memasang mimik ketus. Ia kembali mewarnai karyanya di atas kanvas.

Posisi Rankit berdiri adalah di depan Shada, jadi ia belum melihat apa yang putrinya lukis dalam kanvas tersebut. Pasti tak jauh-jauh dari rumah, kebun bunga atau mungkin pemandangan hutan, pikir Rankit.

"Memangnya apa yang kau lukis? Boleh Ayah lihat?" Rankit pun berpindah posisi, kini tepat di sebelah Shada ia berdiri serta memandang langsung ke karya lukis sang putri.

Untuk beberapa detik yang mengejutkan, Rankit bergeming dan tak berkedip selama menatap lukisan Shada. Lingkar matanya hampir melebar.

Perlahan Rankit menoleh, menatap putrinya di mana Shada pun telah lebih dulu menatap sisi wajah Rankit. Tatapan teduh Shada seakan meminta penjelasan dari Rankit, meminta sesuatu yang sebelumnya tak pernah Shada minta.

"She is my mother, right?"

Rankit membisu. Satu hantaman kuat seolah mendarat di dadanya. Trauma itu, rasa sesak itu, kenangan indah dan segalanya benar-benar memenuhi mata Rankit. Di hidung napas Rankit terjeda.

Kendati berat hati, Rankit pun mengangguk kecil.

"Dari mana kau—"

"Aku menemukan foto pernikahan kalian di gudang," potong Shada. Suaranya yang tadi riang kini bergetar, mata indahnya yang tadi berbinar kini memerah, dan malamnya mendadak mendung.

Shada turun dari kursi bundar tempatnya duduk selagi melukis. Ia pergi ke meja belajarnya, berjongkok kemudian menarik keluar sebuah fota berukuran besar, berbingkai indah dan foto itu langsung menghadap ke arah Rankit.

"Rankit Packer and his wife," ucap Shada sembari mendekat.

Mulut Rankit terbuka kecil. Tanpa sadar ia memegang dada, menekan kuat di sana hingga jari-jemari besarnya menegang. Tragedi kematian sang istri kembali muncul di mata Rankit. Trauma hebat itu beserta seluruh kesakitan Rankit, bagai badai mereka menerjang secara tiba-tiba. Sesak tak berongga.

"Kuharap penglihatanku tidaklah keliru, karena ternyata wajahnya mirip-mirip dengan Madam Volpone." Shada membuat senyuman tipis. Dalam-dalam ia memandang Rankit sambil terus menunjukkan foto berukuran besar itu kepada sang ayah.

"Apa Ayah akan menikahi Madam Volpone untuk menggantikannya?"

"Shada." Rankit berkacak pinggang, mengatur napasnya berulang-ulang serta singkat ia memandang ke plafon kamar. Singkat juga Rankit mengembungkan pipi dan kembali menarik napasnya berkali-kali. Gelisah menyerang dadanya.

IMMORALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang