Bagian I

1.3K 80 4
                                    

Hujan di Tokyo baru saja reda. Aspal di sepanjang jalan masih basah. Genangan air belum surut, dan aroma hujan masih tercium jelas. Cinta berlari-lari kecil, tergopoh-gopoh menuju halte bus, sekarang pukul 09.40 pagi waktu Tokyo, kelas merangkai bunga dimulai dua puluh menit lagi.

Melarikan diri ke Tokyo tidak pernah menjadi rencana Cinta. Ia memang punya keinginan untuk mengambil kursus baking, merangkai bunga, menjadi barista, dan kegiatan apapun yang menenangkan. Dan ia selalu mengagumi Jepang. Namun, tidak atas paksaan kakak dan orang tuanya.

"Kamu harus berlibur. Satu bulan, tiga bulan. Selama apapun sampai kamu siap untuk kembali." Pinta ibunya kala itu, lebih seperti mengemis.

Anak perempuan satu-satunya, anak bungsunya, didiagnosa mengalami moderate depressive episode. Koasnya terpaksa dihentikan. Ibunya yang bicara langsung dengan pihak kampus dan rumah sakit, memohon agar tahun ini koasnya dibatalkan saja. Padahal sudah jalan enam bulan.

"Mengulang tahun depan tidak papa. Mama-Papa tidak pernah mempermasalahkannya. Mau telat lulus berapa tahun pun, tidak masalah. Jangan terlalu memaksa diri kamu." Wanita berusia hampir 50 tahun itu setengah menggertak dan setengah memelas kepada anak bungsunya.

Ia tidak mau anak bungsunya jadi gila. Ia takut perempuannya melakukan sesuatu yang nekat.

"Ke Jepang, yuk. Temani kakak. Katanya kamu pengin tinggal di Jepang yang agak lama. Satu bulan, dua bulan." Pasca mendapat telepon dari ibunya, Win berusaha ikut membujuk Cinta agar sudi healing, menenangkan pikirannya.

Hanya memiliki satu adik, ditambah sangat pendiam rasanya begitu sepi. Apalagi jika Win kehilangan adik semata wayangnya. Ia tidak ingin mendapati rumah semakin sepi saat ia kembali ke Indonesia.

Halte telah tampak di kejauhan. Cinta berusaha mempercepat langkahnya, tetapi lari tidak pernah menjadi kawan baiknya. Napasnya tersengal, perutnya terasa sakit. Belum sempat tiba di halte, sebuah mobil melaju kencang, melewati genangan air.

Seseorang mendorong Cinta dan memeluknya. Cinta dapat merasakan sebagian cipratan air.

Orang itu melepas pelukannya, menatap Cinta lekat. "Daijoubu?" Seoarng wanita berwajah agak bule. Badannya jauh lebih tinggi dari Cinta. Rambutnya basah tersiram genangan air.

Cinta mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Ia menatap wanita itu bingung. "You are not Japanese," wanita itu bergumam, "are you okay?" ia lanjut bertanya

"Huh?" Cinta tersadar dari lamunannya, diperhatikannya wanita di hadapannya itu. Seketika ia sadar apa yang baru saja terjadi. "Ah, are you okay?" ia balik bertanya.

"I'm the one who asked you first."

"Eh, I'm sorry. I'm okay..I'm okay. You're getting wet. I'm sorry." Cinta merasa cemas, bingung, sungkan, kikuk, semua menjadi satu.

Wanita itu mengangguk. "It's okay. It's just my back." ucapnya dengan wajah datar, tidak tersenyum, tidak pula menampakkan amarah.

"Are you sure?"

"Mmm, it's okay. I just finished jogging. I'm already dirty, I was sweating, so it's okay."

Keduanya diam beberapa saat, "Then, if you're okay. I'll go."

Sebelum wanita itu pergi, Cinta bergegas menahan wanita itu dengan menggenggam pergelangan tangannya, "wait, how I could pay you?"

"Huh?" Wanita itu memandang Cinta bingung

"I think you need to clean your clothes." Cinta bergegas mengeluarkan alat tulis dan sebuah kertas, mencatat nomor teleponnya, lalu memberikannya pada wanita itu.

Dari arah belakang wanita itu, Cinta melihat bus datang. "Ah, I'm sorry my bus is here. I need to go. If you need to pay some laundry service, just text me." Cinta bergegas meninggalkan wanita itu.

Wanita itu terdiam menatap Cinta yang kian menjauh. Kemudian melihat secarik kertas di tangannya. "You don't give your number to a stranger." Gumamnya.

****

"Tumben banget orang Jepang peduli sama stranger, turis pula." Win, kakaknya berkomentar setelah Cinta menceritakan kejadian tadi pagi.

"Kayanya bukan orang Jepang, mukanya sekilas mix kaukasian."

"Terus, kalian kenalan?"

Cinta menggeleng. "Nggak sempat, busku keburu datang. Tapi, jadi nggak enak karena sampai sekarang dia belum chat aku."

Win menatap adiknya lekat. Sejak kecil, Cinta selalu tidak enakan. Pada kondisi tertentu, ia bisa begitu khawatir dengan orang lain.

"Ta..."

Ucapan Win menggantung, membuat Cinta mengalihkan pandangannya dari piringnya.

"Kalau memang dia nggak menghubungi, berarti dia merasa nggak papa. Jangan terlalu khawatir. Tapi, di Jepang, jangan sembarnag kasih nomor kamu ke orang lain, ya. Sekhawatir apapun atau semerasa berutang apapun kamu sama orang itu."

Cinta mengangguk, "Maaf. Aku cuma nggak tahu gimana cara berterima kasih ke orang itu."

Win mengangguk, "mudah-mudahan dia bukan orang freak, ya. Mudah-mudahan nomor kamu nggak disalahgunakan." lelaki itu menegak air putih beberapa teguk, "dan lain kali, bilang sama kakak kalau mau pergi. Jangan nggak enakan gitu sama kakak kandung sendiri. Kakak itu cuma ngegym, bukan rapat dengan presiden. Kamu nggak akan merepotkan kakak." Kali ini nada suaranya terdengar sedikit tegas.

"I'm sorry."

Dan selalu begitu. Cinta selalu meminta maaf. Tidak ada kata yang lebih banyak keluar dari mulut gadis itu selain "maaf" atau "sorry". Barangkali, jika Cinta seorang polygot, ia akan mengucapkan "maaf" dalam bahasa lainnya: afwan, ngapunten, gomenasai, bahasa apapun yang intinya sama: maaf.

Win sudah berulang kali mengatakan bahwa Cinta tidak perlu meminta maaf atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Namun, berulangkali Cinta melanggar. Ia sebenarnya ingin berteriak, meminta adiknya agr tidak meminta maaf lagi. Namun, ia yang paling tahu seberapa sensitifnya perasaan Cinta.

Win mengangguk, tersenyum, lalu mengusap salah satu tangan adiknya, "it's okay, lain kali jangan diulangi."

***

Pansa telentang di kasurnya. Ia menatap secarik kertas yang tadi pagi ia dapatkan. Menolong orang asing sudah sering ia lakukan, tetapi ia tidak pernah mau mengenal orang-orang yang ditolongnya, apalagi sampai meminta bayaran, dan membayar laundry bukan hal berat baginya, bahkan ia dapat membeli franchise jasa laundry.

Baginya, menolong orang bukan demi orang tersebut, tetapi demi egonya sendiri. Demi menyenangkan perasaannya sendiri. Ia adalah orang jahat yang menjadikan orang lain sebagai objek kebahagiaannya.

Pansa bangkit dari tidurnya. Menuju ke tong sampah di dekat meja kerjanya. Ia merobek kertas itu menjadi bagian-bagian kecil, lalu memasukkannya ke tong sampah.

Sudah terlalu banyak orang di dalam hidupnya, sangat banyak, ia tidak perlu menambahkan satu orang lagi dalam hidupnya. 

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang