37

6.5K 236 122
                                    

Pulang sekolah, Kansa pikir Alskara akan menanyai kabarnya. Terkait foto itu, Ia sangat yakin bahwa anak-anak gardixen termasuk Alskara sudah tahu. Apa lelaki itu tak mengkhawatirkannya? Mood Kansa kali ini sangat-sangat buruk.

Kalanva juga sepertinya masih belum melupakan kejadian waktu istirahat tadi. Hingga sekarang, gadis itu tak ada mengabarinya sama sekali. Padahal mereka sudah janji akan mengecek hasil percobaan kemarin.

Belum lagi ancaman dari Cassandra yang masih berputar di pikirannya. Tadinya ia harap Alskara mau meluruskan hubungan mereka. Tapi ia sadar. Belum waktunya Alskara untuk luluh saat ini, setidaknya sampai lelaki itu benar-benar mengungkapkan perasaannya pada Kansa. Dalam hati ia tertawa bodoh, memang Alskara menyukainya?

"IBU IH!!!"

Teriakan Gal membuat Kansa menoleh cepat-cepat ke sumber suara. Ada Gal yang tengah menunggu ia gendong masuk ke mobil.

"Ya ampun sayang.. "

Dengan pelan dan hati-hati, Kansa bergerak menjulurkan tangannya, kemudian membawa Gal ke pangkuannya. Setelah itu, pintu mobil ia tutup lagi.

"Gal besok gak usah di rumah nenek lagi ya, bu, yah? Janji gak bakal banyak tingkah! Asal sediain makanan aja.. "

Kansa menaikkan alisnya bingung.

"Kenapa emang?"

"Takut, kayak orang gila."

Alskara melirik sebentar ke anaknya, kemudian fokus lagi ke jalanan. Lelaki itu tak banyak berkomentar, tapi telinga dan otaknya fokus mencerna seluruh ucapan Gal. Biarkan Kansa saja yang menginterogasinya.

"Orang gila.. maksudnya?" tanya Kansa hati-hati. Memangnya bundanya itu kenapa?

Gal mengangkat acuh kedua bahunya. Pikirannya berputar pada kejadian siang tadi. Kejadian yang membuat dirinya mesti berlari menghindar menuju lapangan sebelah, menuntun Marsya yang masih mungil dan belum mengerti apapun.

Tiga jam kemudian, bunda Siera menjemput mereka berdua ke lapangan. Wanita itu bicara banyak hal, meyakinkan Gal bahwa aksinya siang tadi cuma hal biasa yang tak perlu bocah itu pikirkan. Di sana, Gal tak bisa berbuat lebih, dibanding dirinya, ia sadar betul, ada Marsya yang—

Sudahlah.

Mungkin pikiran Gal terlalu jauh.

"Gal jawab.. Ibu penasaran ih," rengek Kansa.

Perempuan itu menekan-nekan pipi Gal gemas. Sesekali pencium puncak kepala anaknya.

"Pokoknya nenek tadi kayak orang sakit jiwa."

Mendengar nada suara anaknya yang sudah tidak mood lagi untuk bicara, Kansa memilih tak bertanya lagi. Perempuan itu diam-diam menengok suaminya yang masih belum merespon.

Yang Gal bicarakan tadi itu ibunya, Kansa mana mungkin diam saja. Dan lagi pula, memang bundanya itu ada riwayat penyakit kejiwaan? Rasanya kurang masuk akal.

Alskara menghela napas pelan, ia sadar Kansa tengah kebingungan sendiri. "Baru kali ini, kan? Gak usah dipikirin segitunya!"  

Walaupun baru kenal bunda Siera dua tahun ke belakang, Alskara lumayan mengenal kehidupan mertuanya itu. Bahagia dan selalu banyak cerita. Hal ini sudah pasti akan dibenarkan oleh Kansa sendiri, selaku anaknya.

Dari pendapat-pendapat itu, maka pendapat Gal lah yang paling lemah.

Gal berdecak. "Tetep aja.. serem."

Kansa menghela napas panjang. Ia menatap Alskara terang-terangan. "Aman gak kalo Gal di apart sendirian?"

"Aman, gue awasin."

ALSKARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang