40

9.3K 487 617
                                    

Kansa baru sampai di apartemen. Penampilannya begitu menyedihkan, rambut sepunggungnya sedikit acak-acakan. Warna kemerahan pada bagian mata, hidung, hingga pipi masih membekas belum kering. Kenyataannya ini benar-benar terjadi, ibunya dipenjara. Ibunya marah.

Tuhan.. sampai di sana dulu. Kansa belum sempat belajar menerima keadaan lagi setelah kejadian itu. Ia belum begitu dewasa untuk menerima keadaan yang ini-yang bundanya harus mendekam di penjara, yang ia masih belum tahu letak kesalahannya hingga teman-temannya menjauh.

"Skara.. "

Saat itu juga, rasanya Kansa sangat ingin didekap lelaki itu. Menyalurkan ketakutan, keraguan, kesedihannya hingga rasa-rasa yang menggila itu berkurang darinya.

Tapi tidak. Nampaknya soal tadi, soal bundanya yang dikabarkan masuk kantor polisi-belum sampai di sana. Ini lebih dari itu, dari ekspektasinya, dari harapannya.

"Keluar!"

Apa lagi..

Kansa lunglai, lemas tak bertenaga. Maksudnya apa? Intonasi lelaki itu bukan seperti apa yang pernah ia dengar sebelum-sebelumnya. Saat setelah kejadian di lift kemarin.. saat ia menangis, persis seperti ini.

"Gue bilang keluar!!"

Kansa menggeleng perlahan. Bahkan lelaki itu tak menjelaskan apapun padanya, tentang apa salahnya, tentang apa yang membuatnya lagi-lagi merasa salah untuk kesekian kalinya. Mata perempuan itu berkaca-kaca lagi, sisa-sisa tangis tadi siang bahkan belum mengering selesai sepenuhnya. "Ada apa, Ska?" cicitnya pelan.

Alskara menatap perempuan itu datar. Tak ada apa-apa di sana. Kansa jelas kebingungan karena raut wajah itu.

Gal muncul di belakang ayahnya. Bocah yang lusa akan menginjak umur ke tiga tahun itu bahkan hanya diam. Tidak berlari memeluknya seperti yang ia lakukan sebelum-sebelumnya.

"Skara.. bunda sekarang di penjara, aku-"

Sepertinya mengadu kepada Alskara tak akan memberinya ketenangan apalagi penyelesaian.

"Resiko," potong lelaki itu cepat.

Bibir Kansa terkatup rapat.

"Nyokap lo pake obat-obatan, tukang sabotase, gue pikir itu hal yang wajar kenapa dia bisa sampai dipenjara, kan?" seringaian lelaki itu muncul. Tangannya ia silangkan di depan dada, menatap datar perempuan di hadapannya. "Dan di sini lo nutupin semua kesalahannya. Fuck! Lo sama nyokap lo bikin gue harus kerja lama buat buka kasus!"

Kansa memejamkan matanya erat-erat. Ia menangis lagi.

"TOLOL!!"

Tangan Alskara melayang memukul tembok-yang letaknya tepat berada di samping kepala Kansa. Ia benar-benar dalam keadaan mood yang buruk hari ini. Cowok itu juga nampaknya begitu kelelahan. Kansa hapal betul kebiasaan laki-laki itu jika ia lelah, seperti ini. Alskara selalu melampiaskannya dengan marah.

Walaupun begitu, Kansa sadar betul marahnya Alskara yang ini bukan marah seperti hari-hari biasa. Di sini, ia sudah melakukan kesalahan besar, menutupi fakta bahwa bundanya menyabotase hasil otopsi kemarin. Ia menutupinya dari Alskara, dari orang yang sangat benci dipermainkan. Meskipun posisi Kansa saat ini sebagai pasangan hidup lelaki itu. Sama saja.

"M-maaf.. "

Dan cuma itu yang keluar dari bibir Kansa.

Ia juga sama lelahnya hari ini.

Alskara terkekeh, kedengaran menyeramkan di telinga Kansa. "Brengsek! Lo udah gak jujur sama gue dan lo cuma bilang maaf?!!"

Sumpah, demi apapun, bukan itu maksud Kansa. Bukan ingin tidak jujur apalagi membohongi. Ia hanya tertekan oleh segala macam pilihan.

ALSKARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang