25

7.8K 206 23
                                    


"Microchip?"

Alskara membolak-balikkan benda-benda berukuran kecil di tangannya. Bingung juga mesti di apakan benda itu. Kemudian dia menatap teman-temannya yang lain, yang sama bingungnya dengannya.

Masing-masing unit tadi menerima beberapa beberapa microchip. Benda berukuran kecil—yang konon bisa tersambung dengan sebuah komputer.

Mereka hanya di perintahkan memahami konsep mikrochip yang sejauh ini belum di sebarluaskan karena teknologi buatan neuralink itu masih dalam tahap pengembangan.

Sampai saat ini, mereka masih bisa menghirup udara bebas. Tugas yang di berikan tidak melebihi atau mendekati estimasi mereka. Jauh di bawah dugaan. Walaupun mereka tidak tahu apa yang sebenarnya tengah di rancang.

Tapi kedengarannya terlalu berlebihan.

Pikiran Kansa sekarang campur aduk, memikirkan banyak kemungkinan yang akan terjadi di waktu nanti. Entah itu soal hidupnya sendiri, keluarga kecilnya, atau bahkan orang-orang asing di sekitarnya. Terasa begitu aneh, namun semuanya berjalan seolah baik-baik saja.

"Coba cari di internet," usul Sega.

Ruangan gelap yang hanya diisi oleh mereka, sedikit terang kala beberapa di antara mereka membuka ponsel masing-masing.

Setiap unit di pisahkan, di ruangan yang berbeda. Benar-benar terbatas sekali kebebasan mereka untuk berbaur dengan peserta lain.

"Sinyal ga bener!" tukas Abel.

Abel memang jengah dengan situasi ini. Terlalu berlebihan untuk kehidupannya yang jauh lebih baik dari ini.

"Jangan-jangan ini bagian dari rencana juga." Kansa menatap Alskara dan Biru bergantian. Tangannya sibuk memilin tas sekolahnya sendiri. "Sengaja lokasinya di tengah hutan gini, biar gak bisa akses internet," lirihnya.

Legister tanpa sadar menganggukan kepala, setuju dengan pikiran Kansa. "Tapi kita beneran di suruh pahamin doang?"

Biru bergeming. "Iya. Padahal harusnya sekaligus eksperimen 'kan? Misalnya masukin chipnya ke otak monyet kek, apa kek. Kan seru."

"Gaya lo. Kek yang bisa aja!" ucap Rangga.

"Emang ini gunanya buat apa, sih?" Abel tahu, dengan bertanya seperti itu, membuatnya terlihat sangat bodoh. Tapi persetan, lagipula mereka memaklumi.

"Semacam alat buat pengendalian pikiran?"

Legister menyahut ragu-ragu, dia tak begitu paham cara kerja chip itu didalam tubuh makhluk hidup. Yang dia tahu, di masa depan, orang akan lebih mudah mengakses pikiran kita lewat sebuah komputer.

Tanpa ponsel dan internet, mereka seolah saling menghubungkan pikiran. Saling tatap satu sama lain.

Alskara memutar bola mata malas. Menaruh kembali benda kecil yang tadi sempat ia pegang lama. "Gajelas."

"Emang." Biru menyahut, "waktu kita gak lama lagi. Mau gak mau kita harus pahamin dulu konsepnya sekarang."

"Gimana mau pahamin, kita aja baru tahu nih barang ada di dunia."

Biru menatap Rangga. Tatapannya seolah menuntut. Sangat egois.

"Kita pake dugaan-dugaan sementara dulu, habis selesai dari sini, kita bisa cek, pastiin soal jalan pikiran kita tentang microchip." Kansa memberikan solusi.

Yang lain mengangguk saja. Lagipula selain usulan Kansa yang ini, mereka tak punya banyak kesabaran untuk memikirkan sebuah solusi lain. Rasanya buntu sudah.

ALSKARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang