05

14.7K 401 4
                                    

"ABEL!!"

Biru benar-benar dibuat kesal oleh cowok itu. Dia menukar tugas Kimia punyanya dengan punya dia sendiri. Otomatis nilai Biru turun drastis. Padahal selama ini, Biru tak pernah sedikitpun membiarkan nilainya berada dibawah 90. Meskipun semua dia lakukan dibawah tekanan.

Layar elektronik berukuran kira-kira 4 meter—menampilkan deretan rumus-rumus secara bergantian di dinding kafetaria Clopatha. Entah itu rumus, teori, atau tokoh ilmuwan dengan segala kelebihannya. Layar elektronik itu tidak hanya di pasang di dinding kafetaria saja. Di setiap koridor, bahkan lorong sekolah.

Abel cuma tertawa. Dia tak begitu gila nilai menjelang ujian tengah semester ini. Biarlah semua berjalan sesuai yang ada. Lagipula, tak ada siapapun yang menekannya.

"Lagian lo belajar segitunya banget anjir! Kecewa kan lo, nilainya gak sesuai ekspetasi?" tukas Abel. Kemudian dia tertawa lagi.

"Kasian, Bel! Anak pejabat ya konsekuensinya begonoh!"

Agil merangkul bahu Biru. Biru sendiri masih bad mood, kesal pada Abel. Untung saja Abel adalah temannya. Kalo bukan, Biru benar-benar tak segan untuk memberi lelaki itu pelajaran.

Menjelang istirahat— lebih tepatnya beberapa menit sebelum istirahat, mereka sudah ada di kafetaria sekolah. Masa bodo Biru yang marah-marah soal waktunya yang terbuang. Pentingnya, mereka bisa tertawa di atas kekesalan pemuda itu.

"Orang pinter kalo dapet nilai 86 koar-koar kayak gini, ya?" Sega ikutan meledek, ikut senang juga melihat reaksi Biru yang kocak. Kaki cowok itu bahkan sudah bertengger manis di atas meja, menikmati pemandangan di hadapannya.

Alskara juga sedikit ikut tertawa. Cowok itu meminum minuman kalengnya hingga tandas. "Sepinter-pinternya dia, masih pinter anak IPA1 lah! Lo mah apaan, anak IPA2 aja bangga."

Anak-anak Gardixen refleks tertawa mendengar penuturan sang ketua. Memang benar, Biru bukan golongannya anak IPA1. Apalagi soal kelakuannya yang nyeleneh dan suka buat onar. Itu benar-benar mengurangi kharismatik para jenius IPA1. Alhasil Biru di black list dari IPA1.

"Gak usah banding-bandingin deh, lo pada aja anak IPS8. Jauh tuh dari angka 1! Selisihnya 7. Gue cuma selisih 1, selisih 1 doang mah gak ngaruh, kali!"

"Bacot!" Alskara menyahut. "Anak IPA belajar apaan aja, sih?"

"Reproduksi, ya?" Yang Abel tahu itu doang. Karena anak IPS cuma belajar matematika minat dan Biologi. Selebihnya mata pelajaran umum dan mata pelajaran Soshum.

"Itu doang yang lo tahu?" Sinis Biru.

"Emang lo tahu kita belajar apa di IPS?"

"Stratifikasi, diferensiasi? Ya, kan? Sosiologi tuh!" Biru menjawab enteng.

"Iya, Le?"

Alskara malah bertanya pada Legister. Dua tahun sekolah sama sekali tidak membuatnya merasa pintar. Padahal sekolah ini bisa dibilang menargetkan murid-muridnya menjadi jenius. Publik juga mengakui hal itu. Tapi faktanya siswa-siswi Clopatha masih banyak yang tidak mendapatkan haknya sebagai pelajar.

Dia pikir, semuanya cuma atas dasar nama baik. Tidak lebih. Clopatha yang mementingkan popularitas sekolah, dan tidak mementingkan keadaan siswanya yang kacau balau seolah tidak pernah diberi ilmu. Ini kesalahan fatal. Mestinya ada orang yang berani speak up soal kekacauan ini.

How terrible.

Legister mengangguk singkat, "materi kelas 10 itu."

"Gue gak pernah denger, " kata Abel, wajahnya menampakkan cengiran khas cowok itu.

Sega mendengus. Abel selalu begitu. "Sesekali lo baca-baca materi di perpus kalo lagi jagain anaknya si Al!"

ALSKARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang