23: Kesempatan Yang Tidak Diberikan

405 17 8
                                    

Pertengahan Desember tahun ini terasa sedikit berbeda. Jika biasanya Fea sangat menantikan Natal. Maka untuk kali ini, dia menghindarinya. Ada terlalu banyak ketakutannya. Salah satu dan yang terbesar adalah dengan dirayakannya Natal, maka itu pertanda bahwa pernikahan Arsal sudah semakin dekat.

                Perempuan itu menghembuskan nafasnya dengan kasar. Dia sedang makan sendirian di apartemennya. Menikmati semangkuk sup yang baru saja dibuatnya. Hari ini hujan dan cukup lebat. Bahkan tanpa menghidupkan elektronik apa pun, dia merasa cukup nyaman hanya dengan mendengar suara hujan.

                Langit di luar cukup gelap untuk pukul empat sore. Sejak bangun tidur pagi tadi, Fea merasa badannya tidak enak. Sepertinya dia mau sakit dan dia sendirian di apartemen. Tidak berniat untuk memberitahu siapa pun tentang sakitnya ini. Maka setelah tadi hanya berbaring di kasur, dia baru bangun dan segera membuat sup untuk makanan pertamanya hari ini.

                Meski indera perasanya tidak bekerja dengan begitu baik, tapi setidaknya sup itu bisa mengganjal sedikit perutnya yang sudah meronta untuk diisi. Fea meneguk air dari gelas begitu merasa kenyang. Dia meletakkan bekas mangkuknya ke westafel tanpa mencucinya.

                Dia menoleh begitu bel apartemennya berbunyi. Dia mendekat dan membukanya. Deva berdiri di sana sambil tersenyum, pria itu masuk dan menutup pintu kembali.

                Fea membalas senyum pria itu dengan lemah. Walau badannya sudah jauh lebih baik, tapi energinya masih belum kembali semua.

                "Kamu sakit?" tanya Deva cemas, pria itu menyentuhkan tangannya pada dahi Fea.

                Namun suhu tubuh perempuan itu tidak panas, masih normal. Fea menggeleng masih dengan tangan Deva yang menempel di dahinya.

                "Kamu kenapa lesuh banget kalau gitu?" kata Deva menuntut Fea untuk menjawabnya dengan jujur.

                "Aku baru bangun."

                Deva akhirnya mengangguk mengerti. Dia mengajak Fea untuk duduk di sampingnya, disebuah sofa yang sering dia duduki saat ke apartemen Fea. "Kamu beneran nggak pulang?"

                "Nggak, aku masih ada kegiatan besok di sekolah." Jawabnya.

                "Baguslah, aku kangen sama kamu. Mana sekarang kamu kalau di rumah susah banget dihubungin. Aku juga nggak mungkin ke rumah kamu." Ucapnya kesal sendiri, mengingat bagaimana perempuan itu selalu terlambat membalas pesannya ketika sedang pulang.

                Andai bukan karena kegiatannya di sekolah yang mengharuskannya menginap di apartemen. Fea akan di rumah, mendekam di sana bersama Papa dan Mamanya. Dia semakin tidak nyaman dengan Deva yang semakin lama semakin membuatnya risih. Pria itu tidak akan segan untuk langsung datang ke apartemennya saat dia tidak membalas chat atau mengangkat telfonnya.

                Yang untungnya Deva masih punya cukup kesabaran untuk tidak bertindak gila dengan mendatangi rumahnya sama seperti yang dia lakukan di apartemen Fea saat ini.

                Fea tidak membalas pesannya karena tertidur tadi. Dan lihatlah pria itu kini sudah ada di sana. Duduk di sampingnya sembari menyentuh rambutnya, menyelipkan beberapa anak rambut Fea ke belakang telinga.

                "Jadi kapan kamu pulang lagi?" tanya Deva, dia tidak menghentikan elusan di pipi perempuan itu.

                "Mungkin besok kalau udah selesai."

                Deva cemberut, dia menggelengkan kepala. "Nggak usah pulang, yah? Aku mau sama kamu lagi besok," katanya manja. Dia mendekatkan lagi tubuhnya pada Fea.

ODD LOVE IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang