26: Dipenghujung hari Natal

303 22 9
                                    

                Arsal menutup pintu mobilnya dengan cepat, dia menyusuri sebuah toko roti di depannya, mencari seseorang yang tadi menelfonnya beberapa saat yang lalu. Arsal sekali lagi mencocokkan sebuah lokasi yang dikirimkan oleh orang itu, sebuah nomer yang tidak dikenalinya menghubunginya lalu saat dia mengangkatnya, suara yang sangat dikenalinya justru terdengar di sana.

Arsal tidak banyak bertanya. Dia segera meninggalkan Sasa yang sedang menunggu bungkusan buahnya. Dia bahkan tidak menjelaskan kepada Sasa kemana dia akan pergi. Karena untuknya, tidak ada yang lebih penting dari penelfon tadi.

Akhirnya dia menemukannya, perempuan itu duduk di sudut, di bawah lampu yang menyala, memeluk lututnya sendiri terlihat sangat ketakutkan. Arsal mendekat, ketika dia menyentuh bahu itu, Fea menjerit kaget.

"AAAAA!!!" teriaknya dengan segera menjauh.

Arsal menjauh sebentar sebelum akhirnya dia menyadari bahwa perempuan itu mengiranya orang lain. Arsal memeluk perempuan itu. Kini Fea menangis, semakin keras dan bahkan meraung di dalam pelukan pria itu dan Arsal membiarkannya saja. Dia diam, tidak mengatakan apa pun. Membiarkan Fea untuk meluapkan seluruh emosinya.

Kemudian setelah tangisan itu tidak sehisteris tadi, Arsal menepuk punggung perempuan itu, mengusapnya dengan perlahan agar Fea merasa lebih nyaman. "Sudah, kamu sekarang sudah aman. Kamu sama aku sekarang." Ucapnya dengan penuh keseriusan.

"Nggak ada yang nyakitin kamu lagi. Kamu aman. Kamu sama aku. I'm here and I will alawys be here."

Arsal melerai pelukannya. Sejenak, dia memandangi Fea yang tampak sangat berantakan. Rambutnya kusut, matanya sedikit membengkak dan merah, kakinya tampak kotor karena tidak memakai alas. Ntah apa yang terjadi dengannya, tapi Arsal tahu ada sesuatu yang tidak beres.

Namun lebih dari itu. Yang harus dia lakukan sekarang adalah tetap bersama Fea. Karena dia tahu, dari semua bantuan yang bisa dia lakukan, Fea lebih membutuhkan kehadirannya di sana, bersamanya dan memastikan bahwa perempuan itu tidak perlu takut sesuatu menyakitinya lagi.

Arsal menggengam tangan perempuan itu untuk masuk ke mobil, mendudukkan Fea ke kursi dan memasangkan sabuk pengaman, memastikannya sudah benar terpasang sebelum dia beralih pada kursi kemudi dan duduk di sana.

Melihat Fea yang tidak mengelurkan kata apa pun mambuat Arsal kembali meraih tangan perempuan itu tuk digenggamnya. Ibu jarinya mengelus punggung tangan Fea dengan lembut. Memberinya keyakinan bahwa dia bisa berhenti untuk menangis.

Genggaman tangan itu menguat karena Fea memberikan seluruh kemampuannya untuk menggenggam tangan Arsal. Dia menutup matanya, berkali-kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Sejak terakhir kali dia menelfon Arsal dan menunggu pria itu, rentetan kejadian yang dia alami beberapa jam lalu masih melekat dan terbayang terus menurus di kepalanya.

Ketika merasakan perempuan itu kembali menangis. Arsal menolehkan kepalanya. "Kita nggak mungkin pulang dengan kamu yang begini. Papa bisa ngamuk. Kamu mau pulang ke apartemen kamu aja?" tanya Arsal mengeluarkan isi kepalanya.

Fea hanya mengangguk. Dia sudah tidak bisa berpikir lagi. Apa pun asal dia bersama Arsal.

Arsal segera memutar stir dengan satu tangannya yang bebas. Pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan yang lebih tinggi dari yang tadi. Setidaknya Arsal ingin mereka sampai lebih cepat.

Ketika Arsal sudah menghentikan mobilnya di parkiran basement. Fea tidak langsung menurut untuk diajak turun. Perempuan itu berusaha untuk mengumpulkan seluruh tenaganya yang tadi terserap habis. Dia menoleh pada Arsal yang kini juga sedang menatapnya. Pria itu menaikkan alisnya. Dia tentu ingin tahu dengan apa yang terjadi pada perempuan itu. Namun dia terlalu mengenal Fea. Perempuan itu akan menceritakannya nanti saat dia sudah siap dan memang ingin berbagi.

ODD LOVE IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang