"Sana keluar! Temui pria itu!" usir Elie galak ketika Nicole terlihat diam saja memandangi sosok Zion yang makin mendekat ke butiknya.
Nicole balas melirik tajam kepada Elie, lalu menolak tegas. "Aku tidak mau!"
Elie menggeleng tegas. "Temui dia, Nic."
"Tapi untuk apa? Apa maunya menemuiku?" Sebenarnya kebingungan Nicole bersifat dua arah. Bingung alasan dia menemui Zion dan sebaliknya pun demikian.
"Mana kutahu. Cari tahu sendiri sana!" seru Elie gemas. Tidak sabar lagi melihat Nicole masih ragu-ragu, Elie segera turun dari atas meja, lalu menyeret sahabatnya berdiri. "Yang pasti untukmu, sana benahi pikiranmu! Kamu itu kacau sekali pagi ini karena isi kepalamu hanya pria itu."
"Dia membunyikan bel, Elie!" seru Nicole panik ketika mendengar bel dari meja resepsionis. Dia harus mengingatkan diri agar segera mempekerjakan seorang resepsionis untuk mengatasi situasi semacam ini karena mengandalkan Elie sama saja percuma.
"Cepat keluar!" Elie berpindah ke belakang Nicole, lalu mendorong punggung gadis itu.
Paksaan Elie membuat Nicole mengentakkan kaki. Namun, dia menurut juga. Begitu membuka pintu ruang kerja, Nicole langsung bertatapan dengan mata Zion yang tengah berdiri canggung di dekat meja resepsionis. Pria itu tersenyum kikuk, kemudian menunduk sopan.
"Ada yang bisa aku bantu?" ujar Nicole berusaha terdengar tenang. Berharap dalam hati agar Zion tidak menyadari jika dia sudah mengetahui keberadaan pria itu sejak tadi.
"Aku ingin menemuimu," jawab Zion pelan, lalu menatap ragu. "Apa kamu punya waktu?"
Nicole kebingungan dan hanya meremas tangannya dengan gelisah.
"Sebentar saja," ujar Zion lagi.
Nicole akhirnya mengangguk setuju, lalu menunjuk sofa untuk mempersilakan Zion duduk. "Apa ada yang ingin kamu tanyakan lagi?"
Zion meringis mendengar pertanyaan Nicole. "Sebenarnya tidak ada."
Sejujurnya Zion sendiri tidak yakin dengan alasannya ingin menemui gadis itu. Untuk bertanya, tapi tentang apa? Untuk mencari kebenaran, tapi yang mana? Mungkin juga hanya untuk sekadar melihat mata Nicole saja.
"Lalu?" ujar Nicole bingung.
"Aku hanya ingin melihatmu," aku Zion akhirnya. "Untuk memastikan sesuatu."
Nicole terdiam, menunggu Zion melanjutkan kata-katanya, tetapi ternyata pria itu hanya duduk memandanginya tanpa berbicara lagi.
Zion menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk menatap mata Nicole. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa gadis ini bukan Alysia, tetapi sudut hatinya seolah terus memberontak. Setelah menit-menit berlalu dan dia tidak kunjung menemukan jawaban, Zion menyerah. Dia tersenyum sopan, kemudian bangkit. "Terima kasih untuk waktumu. Aku pergi."
Nicole memandangi punggung Zion yang menjauh dengan perasaan janggal. Pikiran dan perasaannya makin kacau karena Zion meninggalkan banyak tanya dalam diri Nicole. Mengapa dia tidak terganggu dengan kehadiran Zion atau takut dengan sikapnya yang janggal? Namun, yang paling tidak masuk akal adalah kenyataan bahwa Nicole ikut merasa sedih ketika melihat sorot mata pria itu.
"Mana pria itu?" tegur Elie yang sudah duduk di seberang Nicole, menggantikan posisi Zion tadi.
"Sudah pergi," sahut Nicole.
"Secepat ini?" Baru saja Elie berniat menawarkan minuman untuk Zion.
Nicole mengangguk kecil.
"Jadi, apa yang dia inginkan?" tanya Elie penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hymn of Beautiful Scrars
RomanceLuka paling menyakitkan adalah kehilangan seseorang saat rasa cinta tengah demikian menggebu dan itulah yang dialami oleh Zion De Luca. Alysia Linder pergi meninggalkannya tepat di hari pernikahan mereka. Zion tidak mampu bangkit dari keterpurukan m...