2. Selama Masih Berdetak

68 9 0
                                    

Satu hari yang cerah bagi kebanyakan orang, sama dengan satu hari kelabu bagi Zion. Di saat rasa sepi begitu kuat mengimpit, Zion akan memutuskan untuk mengenang hari-hari bahagianya bersama Alysia. Dia akan berjalan tanpa arah di jalan-jalan kota San Diego, berhenti di satu titik tertentu dan membuka memori indah yang pernah tercipta dari tahun-tahun lampau.

Hari ini, tanpa sadar kakinya kembali melangkah menuju kafe tempat pertemuan pertamanya dengan Alysia. Dia membeli secangkir kopi, membawanya ke meja di luar ruangan, lalu duduk di sana selama berjam-jam hingga kopinya berubah dingin. Tidak ada hal yang Zion lakukan selain memandang jauh tanpa arah dan mengenang pertemuan pertamanya yang sampai hari ini masih demikian segar dalam ingatan.

Siang itu, seperti biasa Alysia Lindner tengah duduk di tempat favoritnya, sebuah kafe yang berada pada jalan tersibuk San Diego. Alysia selalu memilih tempat duduk di area outdoor, ditemani secangkir kopi dan kamera di tangan, serta laptop kesayangan yang tidak pernah jauh darinya.

Alysia mungkin tampak seperti orang yang sedang melamun, tetapi sebenarnya mata gadis itu tengah bekerja mengawasi orang yang lalu-lalang di sekitar. Sesekali tangannya akan bergerak untuk membidikkan kamera jika perhatiannya tergugah.

Perhatian Alysia tiba-tiba tertuju kepada sesosok pria di kejauhan. Pria berpenampilan eksentrik itu terkesan urakan, garang, tetapi memiliki pesona yang sulit diabaikan. Tubuhnya tinggi tegap, garis wajahnya keras, rambutnya dicepol asal, tetapi bukannya membuat pria itu terlihat berantakan malah memberi kesan maskulin. Pakaiannya tidak mencolok, tetapi membalut sempurna tubuhnya. Sepertinya, apa pun yang pria itu kenakan akan tampak menawan di tubuhnya.

Satu kata yang dapat menggambarkan situasi Alysia saat ini. Terpesona.

Mata Alysia tidak bisa berhenti menatap sosok itu, sampai dia lupa untuk mengambil kamera dan membidikkannya. Namun, Alysia makin terhipnotis tatkala pria itu mendekat, lalu berhenti tepat di hadapannya.

"Aaa!" jerit Alysia tertahan. Dia begitu terkejut ketika pria itu tiba-tiba menariknya berdiri, meraih pinggangnya sampai tubuh mereka hampir tidak berjarak, lalu mendekatkan wajah hingga ujung hidung keduanya nyaris beradu. 

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Alysia dengan nada memprotes sambil berusaha melepaskan diri.

Pria itu tidak mengatakan apa-apa, tetapi tubuhnya kian membungkuk. Kemudian, tiba-tiba saja tangannya menyambar laptop milik Alysia.

Alysia mendelik kaget melihat benda kesayangannya dirampas begitu saja. “Kembalikan laptopku!”

Alih-alih mengembalikan laptop milik Alysia, pria itu malah melenggang pergi tanpa mengatakan apa-apa. Tak ayal Alysia dibuat panik bukan main. Laptop itu adalah seluruh dunia Alysia. Semua data penting yang dipergunakan untuk menunjang pekerjaannya sebagai seorang jurnalis ada di sana. Jika laptopnya hilang, dunia Alysia akan tamat.

Cepat-cepat Alysia membenahi barangnya, lalu mengejar pria itu. Dia mencoba menjangkau laptopnya, tetapi pria itu malah mencekal pergelangan tangan Alysia.

“Aku bisa berteriak mengatakan kamu pencuri dan orang-orang akan mengejarmu!” seru Alysia geram. Dia tidak habis pikir melihat orang berani mencuri pada siang hari, di tengah keramaian pula, tanpa merasa takut sama sekali.

“Aku bisa membuat kamu kehilangan penghasilan dan didepak dari negara ini,” balas pria itu tidak peduli.

Balasan pria itu membuat Alysia mendelik tidak percaya, bahkan mendengkus geli. “Memangnya kamu siapa?”

“Orang yang kehidupannya kamu ulas dengan begitu vulgar, kamu hina, kamu pojokkan, dan kamu anggap sangat rendahan,” sahut pria itu sinis.

Kening Alysia mengernyit dan refleks dia membantah, “Aku tidak pernah mengulas tentang kamu, bahkan melihat kamu saja belum pernah.”

Hymn of Beautiful ScrarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang