twenty two

60 2 0
                                    

"Lo nggak perlu datang buat hadirin pernikahan Papah. Gue cuma ngasih tau aja dan gue harap dengan gue disini bisa ngurangin kesedihan lo walaupun cuma sebentar."

Itu adalah ucapan Reno minggu lalu saat berkunjung dengan fakta menyakitkan. Sedari awal Puri juga tidak ingin pergi kesana bahkan sekedar melihat wajah Tama barang sedetik saja ia enggan. Hatinya masih diliputi kesedihan. Menyaksikan Tama bersama wanita lain selain Saras akan semakin menambah luka.

Puri menelusuri pelataran sekolah dengan pandangan tertunduk. Rasa-rasanya ia menjadi seorang anak paling menyedihkan hari ini. Tepat hari ini merupakan pernikahan Tama digelarkan.

Tadi pagi ia juga mendapat pesan dari Reno meyakinkan dan menanyakan keadaan Puri. Dipilihnya untuk membalas pesan itu singkat dan memberitahu bahwa ia perlu waktu sendiri.

Puri berjalan ke halte sekolah namun langkahnya terhenti saat matanya secara tidak sengaja menangkap sosok pria yang sangat ia kenali bersandar di pintu mobilnya.

Tidak. Pria itu bukan yang menjadi masalah, bukan pula ulasan senyuman pria itu padanya. Dia hanya butuh ruang tersendiri untuk nya sekarang. Puri tidak ingin lagi tampil menyedihkan didepan pria itu. Cukup sekali saja waktu ia malah membeberkan perihal Tama.

Ditempatnya Alam nampak kebingungan karena Puri yang masih berdiam diri ditempatnya. Pria itu menghampiri Puri.

"Kamu kenapa? Kenapa diam aja?"

Puri mendongak melihat Alam lalu menggeleng pelan. Seperti yang sudah-sudah Alam malah mengacak rambut Puri.

"Kenapa mas tiba-tiba banget jemput aku?"

Alam tidak menghiraukan pertanyaan yang dilemparkan gadis tujuh belas tahun itu. Dituntunnya Puri memasuki mobil.

"Kenapa nggak ngabarin? Kalau aku udah pulang duluan tadi gimana?" Puri terus bertanya sebab Alam masih belum membuka suara.

"Ya, saya balik kerumah."

Puri memilih mengatupkan bibirnya. Tidak mempunyai energi banyak meladeni sikap Alam yang janggal.

Kini mobil yang mereka tumpangi telah membelah jalanan sore yang padat oleh kendaraan lain.

Puri memberikan tanda tanya kala mobil hitam itu berhenti di depan kafe tidak jauh dari kawasan perumahan mereka.

"Saya dengar mereka punya menu baru."

Perkataan Alam barusan tidak mengubah awan gelap nan mendung disekitar Puri. Ia nampak tidak bersemangat.

"Saya yang traktir. Saya jamin kamu pasti suka."

Puri menghela nafas. Dengan setengah hati ia mengikuti gerakan Alam keluar dari mobil. Mereka berdua memasuki kafe

Alam membawa Puri duduk di meja dekat jendela kaca besar yang menampilkan suasana sore Bandung yang nampak ramai oleh pejalan kaki dan kendaraan yang berlalu lalang.

"Kamu udah pernah kesini?"

"Belum." Puri menggeleng.

"Kapan-kapan saya ajak kamu jalan-jalan."

"Emangnya, mas nggak sibuk ya? Tumben pulang sore."

FIX YOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang