eight

591 18 0
                                    

"Kamu nggak menganggap saya sebagai sopir pribadi kan?"

"Hah?" Puri masih mencerna pertanyaan Alam hingga ia tersentak dengan wajah tidak enak. Buru-buru ia pindah ke kursi samping kemudi. Puri bergerak secepat kilat untuk menghindari hujan bahkan ia lupa kalau ia membawa payung lantaran aura Alam yang begitu mengintimidasi.

"Maaf, mas."

Puri tidak memperoleh balasan, ia menjadi kikuk. Pun mobil sudah melaju menerobos hujan. Alam tidak menyetel musik membuat Puri semakin tidak nyaman dalam duduknya. Puri memilih memperhatikan jalanan yang mereka lalui.

"Luka dilututmu gimana?"

"Udah mendingan, mas." Jawab Puri hingga suara deringan telepon menarik Puri dari dunianya sendiri.

Rupanya itu adalah ponsel milik Alam, Alam mengambil ponsel dari sakunya kemudian menggulirkan ikon telepon keatas mengangkat panggilan itu.

Puri tidak dapat mendengar apa yang dikatakan seorang diseberang sana. Namun ia sempat menangkap senyuman kecil dibibir Alam kala menerima panggilan itu.

Sejenak Puri terpana melihat figur Alam dari samping. Hidungnya bagai perosotan dan juga rahangnya nampak tegas. Begitu memesona. Pagi ini pria itu mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan celana berwarna abu-abu.

Puri menggigit pipi bagian dalamnya. Ia semakin merapatkan jaketnya. Padahal cuaca diluar dingin namun Alam masih menyalakan AC mobil.

"Sudah sampai." Beritahu Alam.

Puri sampai tidak sadar kini mereka sudah didepan gerbang Nusa Bangsa. Dari dalam mobil sudah banyak para siswa yang berdatangan.

"Makasih, mas." Ucap Puri tulus. Ia sangat merasa terbantu sekali atas tumpangan yang diberikan Alam.

"Sama-sama. Nama kamu siapa tadi?"

"Puri, mas."

Alam mangut-mangut, terjadi keheningan beberapa detik antara mereka. Suara rintik hujan terdengar jelas dari atap mobil. Puri berdehem, " Kalau gitu, saya duluan mas."

"Iya."

Puri membuka pintu mobil, ia sudah bersiap-siap untuk menerobos hujan yang begitu deras. Gerakannya terhenti, ia memutar tubuhnya seratus delapan derajat.

Alam menaikkan alisnya dengan pandangan bertanya, "Ada apa?"

"Payung saya, hampir aja lupa." Puri menyengir.

Alam dengan sigap meraih payung Puri yang tergeletak dibelakang. Payung kini sudah berpindah tangan pada Puri.

"Sekali lagi makasih, mas."

"Hati-hati, jangan sampai jatuh lagi."

Perkataan Alam dibalas Puri oleh cengiran.

Puri membuka payungnya, kaki kecilnya yang dibalut sepatu hitam melangkah lebar bersama dengan siswa-siswa yang lain menuju kelas.

Koridor penuh dengan lalu lalang orang, setelah menutup payungnya gadis itu bergabung dengan keramaian siswa di koridor.

"Maaf, ya." Puri meminta maaf setelah tidak sengaja menyenggol bahu seorang siswi. Puri memasuki kelasnya yang sudah ramai. Beberapa orang dikelas menoleh pada Puri, diantara mereka ada yang sambil berbisik-bisik dan memandang Puri dengan tatapan prihatin.

Puri menilik tampilannya hari ini, tidak ada yang aneh. Ia tidak mengerti kenapa mereka memandangnya sedemikian rupa. Apa yang sebenarnya terjadi. Hingga sampai di kursinya Puri masih menebak-nebak.

Puri berdehem menetralkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gatal, pun ia menyadari kalau tas ungu Mika sudah ada di sana yang tandanya gadis itu lebih dulu tiba daripada Puri. Namun Puri belum melihat eksistensi Mika pagi ini. Tumben sekali, pikir Puri. Pasalnya beberapa hari ini Mika selalu datang di menit-menit terakhir bel masuk.

Beberapa perempuan yang wajahnya asing bagi Puri tiba-tiba menyerobot masuk kelas dengan tergesa. Perhatian orang-orang tersedot kepada mereka, air muka mereka terlihat tidak santai terutama perempuan berambut curly yang berjalan paling depan.

Matanya mengabseni satu-satu orang yang ada di dalam kelas. Hingga pandangannya terkunci pada Puri.

Gadis itu tersenyum miring, "Lo Puri, kan?"

Tidak ada alasan bagi Puri untuk menggelengkan kepalanya, ia hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan gadis itu. Ia juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Namun dalam kepalanya bercokol pertanyaan-pertanyaan. Seingatnya ia tidak pernah berurusan dengan gadis yang sekarang sudah menghampirinya.

"Akhirnya dateng juga lo." Ucap cewek itu sinis.

"Gue Laura pacarnya Radit, cowok yang lo goda." Perempuan bernama Laura itu tiba-tiba menyentak Puri dengan ucapannya.

Puri dilanda kebingungan hingga satu nama yang keluar dari mulut Laura mengingatkan ia pada kejadian di kantin kemarin.

"Maaf tapi kenapa lo tiba-tiba marah gini?"

"Lo dungu apa bego? Bukannya udah jelas tadi lo itu goda cowok gue! Jelas dong gue nggak terima. Dasar cewek gatel!" Laura melontarkan kata-kata tersebut.

"Gue nggak pernah goda cowok lo." Puri membela diri. Cewek ini benar-benar aneh tiba-tiba melabraknya tanpa mengetahui kebenarannya.

Laura memukul meja, ia nampaknya geram sekali atas balasan Puri.

"Lo cewek kegatelan! sok cantik lagi! Lo tuh nggak sadar kalo lo itu kecentilan godain cowok gue. Ngapain lo kemarin deketin Radit? Centil banget anjir. Lo pikir gue nggak tau soal itu. Ngaca!Udah secantik apa lo. Lo masih beberapa hari disini jadi nggak usah bikin masalah sampah kayak gini!"

"Gue nggak ada deketin Radit." Puri membela diri.

"Jangan bilang lo amnesia, ya. Drama banget anjir, nggak usah pasang muka sok polos lo didepan gue. Gue tau lo itu busuk dibelakang."

Laura memandang Puri benci, "Gue yakin sih, lo pasti nggak punya teman gara-gara itu makanya pindah kesini. Lagian siapa juga sih, yang mau temenan sama PHO kayak lo. Bisa-bisa pacar teman lo sendiri juga lo embat. Murahan banget sih jadi cewek."

"Lo nggak jelas banget. Tiba-tiba marah-marah nggak jelas terus ngarang cerita lagi. Harusnya lo kasih tau sama cowok lo biar nggak suka gangguin cewek lain lagi. " Puri tidak akan gentar jika ia tidak melakukan kesalahan. Ia sebisa mungkin akan melawan orang yang seenaknya menuduhnya melakukan hal yang tidak pernah ia perbuat.

"GUE NGGAK BUTUH NASIHAT DARI CEWEK CENTIL KAYAK LO!"

Tanpa terduga Laura menarik rambut Puri. Gadis itu benar-benar tersulut emosi. Puri mengaduh kesakitan dan berusaha melepaskan tangan Laura dari rambutnya. Pun teman-teman Laura yang sedari tadi ikut menyaksikan kejadian itu bersorak.

"Lepasin!" Puri menahan sakit.

Puri tidak ahli dalam hal berjambak-jambakan, itu sebabnya selama ini ia enggan mencari masalah dengan orang lain maksudnya ia benar-benar tidak berpengalaman dalam hal ini. Ia masih berusaha melawan namun pandangannya melihat salah satu gadis yang begitu ia kenali diantara kumpulan antek-antek Laura.

"Jangan kasih kendor, beb. Hajar terus, hahahaha." Teriak Mika, ia memberikan semangat pada Laura yang ternyata adalah temannya.

"Cewek kayak lo emang harus dikasih pelajaran biar ngerti!" Laura benar-benar tidak dapat mengontrol emosinya.

Percekcokan itu juga tentunya menarik kerumunan orang-orang. Sedangkan Laura belum puas menjambak Puri ia lalu menempeleng kepala Puri ke kanan. Puri sampai terdorong kesamping dengan cepat ia menahan berat tubuhnya agar tidak jatuh. Puri berakhir menyedihkan.

"Lemah lo, anjing." Ucap Laura nyalang.

"GIRLS BUAT KALIAN HATI-HATI YA, COWOK KALIAN KUDU DIJAGA KETAT. SOALNYA NIH, CEWEK SUKA EMBAT PACAR ORANG." Laura terbahak menatap Puri dengan remeh. Ia merasa menang.

Puri membuang arah pandangannya, ia menggigit bibir bawahnya merasa geram. Ia kesal pada dirinya sendiri lantaran tidak melawan Laura. Rambutnya kini juga sudah awut-awutan.

Setelahnya Laura beserta antek-anteknya meninggalkan kelas. Puri tersenyum miris, matanya tidak mengeluarkan cairan bening tapi ia merasakan sesak di dadanya. Ia bahkan belum genap seminggu bersekolah disini dan beberapa kejadian tidak mengenakkan sudah menghampirinya.

___________

TBC.

FIX YOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang