nineteen

84 1 0
                                    

"Tumben jam segini kami udah pulang."

"Kerjaanku udah beres, Mah. Jadi nggak perlu lembur."

Alam menaruh tas kerjanya di atas meja makan lalu berjalan ke lemari pendingin. Ia mengambil air dingin kemudian meneguk nya hingga tinggi setengah.

"Lagi masak apa, Mah?"

"Mamah masak bubur buat Puri. Tadi mamah ketemu Bik Sari katanya Puri lagi demam. Makanya mamah masakin aja. Kalau lagi demam kata Bik Sari dia susah makan." Dewi sembari mengaduk bubur dipanci yang sebentar lagi akan jadi.

"Kamu mau nggak anterin bubur ini ke tempat Puri? Biar habis ini Mamah langsung masak buat makan malam." Ucap Dewi.

"Nanti aku antar, Mah. Alam mau ganti baju dulu sekalian mau mandi." Pakaian pria itu sudah tidak serapi tadi pagi. Bahkan lengan kemejanya sudah digulung sampai siku.

***

"Eh den Alam, tumben kesini." Bik Puri tidak bisa menyembunyikan keheranannya melihat pria didepan nya ini sore-sore begini.

Biasanya Puri yang berkunjung kerumah pria itu karena Dewi yang memang sering mengajak Puri. Terkadang mereka memasak bersama atau hanya sekedar makan siang bersama.

"Saya mau anter bubur buat Puri, Bik. Keadaannya udah gimana, bik?"

"Aduh harusnya nggak perlu repot-repot. Bibi tadi udah masak bubur buat Non Puri tapi sepertinya memang belum dimakan."

"Nggak repot kok, Bik. Berarti Puri belum makan, Bik?"

"Dari tadi bibi udah kasih bubur tapi selalu aja ditolak. Kalau sakit seperti ini Non Puri memang susah makan."

Alam mengangguk. Kalau begini bagaimana gadis itu bisa sembuh.

"Aduh, Bibi sampe lupa nyuruh Den Alam masuk. Masuk dulu atuh, Den." Bibi Sari mempersilahkan Alam masuk.

"Duduk, Den. Mau kopi, jus atau teh den?"

"Teh aja bik."

Alam memerhatikan lantai atas kamar Puri berada, sebenarnya ia sedikit mengkhawatirkan gadis itu. Pasalnya mengetahui bahwa ia belum menerima asupan sedari siang membuat Alam khawatir. Apa mungkin penyebab hadis itu jatuh sakit karena mereka yang sempat kehujanan malam itu.

Bibi Sari datang dengan nampan di tangannya. Selain secangkir teh, diatas nampan juga ada semangkok bubur dan air putih.

"Itu buat Puri, bi?"

"Iya den, bibi sekalian mau anter ini ke kekamar non Puri. Siapa tau nanti si non mau makan."

Alam berpikir sesaat, "Saya boleh ikut, bik keatas mau lihat keadaannya."

"Iya, Den. Nggak apa-apa ikut aja."

Alam mengangguk, ia menyeruput teh yang baru saja bibi Sari sediakan. Kemudian ia bangkit mengikuti Bibi Sari yang memimpin jalan.

"Kamar Non Puri itu yang pintu warna coklat, Den."

Sekali lagi Alam mengangguk meskipun tahu bibi Sari tidak melihat karena wanita empat puluh delapan tahun itu tidak menoleh kebelakang.

Posisi kamar Puri dan Alam berhadapan, dimana balkon kamar mereka juga berdekatan. Kadang-kadang Alam tidak sengaja melihat Puri sedang santai-santai dibalkon kamarnya. Mereka juga sempat saling menyapa dari balkon itu.

Bibi Sari mengetok pintu kayu berwarna coklat itu terlebih dahulu sebelum masuk. Alam mengekor dan melongokan kepalanya.

Ia masuk perlahan dan pemandangan Puri yang terbaring diatas tempat tidur menjadi pemandangan pertama yang ia lihat.

FIX YOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang