Pagi ini hujan mengguyur dan itu merupakan saat yang tepat untuk bergelung dibalik selimut. Namun ini adalah weekday sehingga hal tersebut tidak dapat terealisasikan. Pagi ini Puri bersiap-siap berangkat ke sekolah ia mengambil jaket hitam polos dari lemarinya. Biasanya cuaca seperti ini mengakibatkan lebih mudah terserang penyakit dan tentu saja Puri tidak mau hal itu terjadi padanya.
Puri memasangkan jaket itu pada tubuhnya kemudian turun kebawah untuk sarapan. Dimeja makan Saras tengah menyantap sarapannya ia mengangkat wajahnya sekilas begitu mendengar deritan kursi yang digeser Puri.
"Selamat pagi, mah"
"Pagi."
"Mamah pulang malam lagi nanti?" Tanya Puri hati-hati.
"Iya, nanti mamah sibuk banget banyak meeting yang harus mamah handle. Kamu jaga diri baik-baik." Ucap Saras.
"Iya, mah."
"Kamu, kan sudah besar, Ri. Jadi dirumah sendirian pasti tidak masalah mamah seperti ini juga untuk kamu. Mamah benar-benar tidak sudi Papah kamu ikut andil membesarkan kamu setelah apa yang dia lakuin pada kita." Saras tidak dapat menyembunyikan rasa bencinya pada Tama, mantan suaminya. Perkataan Saras terkesan dingin, ada rasa sakit hati saat ia mengatakannya. Mata Saras juga tidak bisa berbohong.
Puri mengangguk perlahan. Ia tahu sekarang kalau semuanya tetap sama tidak ada yang berubah. Sungguh ia sangat menyayangi Saras, ia tidak ingin Saras seperti ini terus. Tapi Puri juga tahu bahwa melupakan apa yang terjadi bukankah hal yang mudah. Karena rasa benci pada Tama kadang-kadang muncul tiba-tiba.
"Non ini bekalnya sudah bibi buatkan." Bibi Satu datang dengan kotak makanan ditangannya.
"Makasih, bi."
Tadi malam Puri memutuskan untuk membawa bekal saja kesekolah. Kejadian saat dikantin kemarin benar-benar membuat Puri malas menginjakkan kakinya ketempat itu lagi. Ditambah ia juga belum mendapatkan teman untuk pergi kekantin bersama.
"Itu non juga jangan lupa ya bawa payung, hujannya lagi deras, non."
"Iya, bi." Balas Puri.
Setelah menyelesaikan sarapannya Puri beranjak dari kursinya. Ia memasukkan bekalnya terlebih dahulu kedalam tas.
"Bareng sama mamah aja, biar sekalian." Ajak Saras. Saras juga sudah menyelesaikan sarapannya.
Senyuman dibibir Puri terbit, ia mengangguk. cepat menyetujui ajakan Saras. Puri mengikuti Saras dari belakang. Wanita paruh yang masih saja terlihat cantik di usianya yang menginjak kepala empat itu mengambil kunci mobil dari tas kerjanya.
Puri membuka payung lalu menaiki mobil. Ia menaikkan resleting jaketnya udara pagi ini cukup membuat Puri merasakan kedinginan. Mobil Saras keluar dari pekarangan rumah Puri tapi diluar dugaan ponsel Saras berdering yang membuat wanita itu menghentikan mobilnya.
"Iya, halo."
"..."
"Baik, pak. Saya akan segera kesana. Baik, pak."
Saras mematikan telepon. Ia menatap Puri dengan perasaan bersalah. "Mamah mesti buru-buru ke kantor karena tiba-tiba meeting dimajukan jadi mamah nggak sempat nganter kamu."
Sekolah dan kantor Puri tidak searah oleh karenanya Saras memutuskan untuk tidak mengantarkan Puri.
"Nggak apa-apa, mah. Puri bisa naik taksi."
"Iya, Puri. Mamah minta maaf."
Puri mengangguk kemudian turun dari mobil Saras. Dibawah hujan Puri menghela nafas, tadi ia bahagia sekali karena Saras akan mengantarnya. Ia membuka ponsel memesan taksi online.
Sebuah mobil berhenti tepat didepan Puri, kaca depan mobil terbuka dan didalam mobil terdapat seorang wanita.
"Kamu ngapain, nak?"
"Saya lagi mesan taksi, Bu." Balas Puri sedikit kencang karena suara hujan yang berisik menenggelamkan suara Puri.
"Kamu sekolah di Nusa Bangsa kan, nak?" Tanya wanita paruh baya itu sekali lagi.
"Iya, Bu."
"Kalau gitu bareng, aja. Kalau hujan begini susah dapat taksi kamu juga bisa telat nanti." Wanita itu menawarkan tumpangan pada Puri.
Puri berpikir, benar katanya disaat seperti ini sangat sulit mendapatkan taksi. Sepertinya menerima ajakan wanita itu tidak ada salahnya.
"Nggak ngerepotin kan, Bu?"
"Nggak, nak. Masuk aja."
Akhirnya Puri memasuki mobil itu. Ia duduk dikursi belakang.
"Nama kamu siapa, nak?"
"Nama saya Puri, Bu."
"Wah nama kamu cantik sekali persis kayak orangnya. Kamu panggil saja Tante Dewi. Ini anak Tante namanya Alam." Dewi memperkenalkan dirinya dan juga anaknya yang sedang menyetir.
Puri tidak sadar ternyata pria yang dibalik kemudi itu adalah tetangganya berarti Dewi juga tetangganya.
"Kamu rumahnya dimana, nak Puri?"
"Itu, Tan nomor 26."
"Oalah berarti kamu rumahnya bersebelahan sama Tante. Kamu yang baru pindah itu, ya?" Dewi nampak bersemangat.
"Iya, Tan."
"Tapi Tante jarang lihat kamu, Tante lebih sering jumpa sama bibi Sari. Ya wajar, kamu kan masih remaja begini pasti lebih sibuk sama teman-temanmu. Sebenarnya Tante mau ke supermarket jadi sekalian aja sama anak tante karna searah. Sekolah kamu nanti juga searah sama kantornya Alam. Iya kan, Lam?" Dewi memastikan pada Alam.
"Iya, mah." Jawab Alam tetap fokus pada jalanan.
"Kamu ini dari tadi diam aja. Jangan sombong begitu, lah harusnya kamu sapa tetangga barumu." Cerocos Dewi.
"Kan, aku lagi nyetir, mah. Bahaya nanti ngomong sambil nyetir."
"Oh, iya yah mamah lupa." Sadar Dewi. "Omong-omong kamu kelas berapa, nak Puri?"
"Saya kelas sebelas, Tan." Jawab Puri sopan diiringi senyuman.
"Masih kelas sebelas ternyata. Yang penting belajarnya yang bagus dan rajin, nak. Apalagi nanti pasti mau lanjut kuliah." Dewi menasehati Puri. Aura keibuan dari Dewi begitu terpancar. Ia nampaknya adalah wanita yang hangat dan ramah. Buktinya baru berkenalan dengan Puri saja ia sangat menyambut Puri dengan tangan terbuka. Diam-diam Puri bersyukur karena mendapatkan tetangga yang baik hati.
"Mah, udah nyampe."
Mobil berhenti ternyata mereka sudah sampai kesuper market yang dimaksud Dewi. Puri kira ia akan turun duluan dibanding Dewi.
"Mamah duluan. Hati-hati nyetirnya, Tante duluan Puri."
"Baik, Tante."
Tersisa Puri dan Alam didalam mobil. Suasana canggung tercipta begitu saja sepeninggal Dewi. Pandangan Puri bersibobrokan dengan Alam dikaca spion Mobil. Puri melarikan arah pandangan kemana saja.
"Kamu nggak menganggap saya sebagai sopir pribadi kan?"
_________
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIX YOU
RomancePuri Riane menyadari ketertarikannya pada Alam Sagara. Masalahnya Alam bukanlah pria single. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu sudah memiliki kekasih. Bagaimana Puri mengatasi perasaannya?