twenty seven

492 16 4
                                    

"Mau lagi?"

Puri menggeleng pelan mendorong sendok yang tergantung di udara. Perutnya terasa amat penuh. Dia mendongak melihat ekspresi pria yang sedari tadi menyuapinya.

"Perut kamu kecil banget, nggak pernah muat banyak." Tangan besar itu mengacak-acak rambut Puri.

Empunya rambut hanya bisa cemberut namun tidak protes sama sekali. Dia lalu menyandarkan kepalanya dibahu pria itu.

Sementara pria dihadapannya mengambil alih dan memakan makanan yang masih tersisa Puri sendiri hanya terdiam. Netranya menyaksikan bagaimana pria itu menikmati makanan. Perhatiannya tidak luput sedikitpun sampai pria itu menenggak air minum.

"Enggak baik nyisain makanan."

"Kan ada mas yang ngabisin."

Puri mendapat jawilan dihidung mancungnya. Suara cekikikan terdengar diruangan itu. Semakin merasa gemas dengan respon Puri tangan besar itu mulai menggelitiki pinggang gadis itu.

Tawa mereka berdua semakin lepas. Benda plasma yang ternyata sedari tadi menayangkan sebuah film dianggurkan begitu saja. Fokus dua orang beda jenis kelamin itu seketika pecah.

Gerakan tangan besar itu mulai memelan hingga benar-benar berhenti bersamaan dengan tubuh mereka yang semakin menempel.

Puri bisa merasakan hembusan nafas yang menerpa wajahnya. Mereka beradu tatap. Tidak ada kata yang keluar dari mulut mereka namun semua tampak jelas dan terasa nyata.

"Puri."

"Mas Alam."

Iya, sangat amat nyata mampu membuat Puri merinding dibuatnya. Puri memejamkan mata sedetiknya membuka dengan cepat. Mimpi tadi malam menghantuinya. Sangat aneh sekaligus memalukan.

Bagaimana mungkin ia bermimpi seperti itu dengan sudahlah menyebut namanya saja ia tidak sanggup.

Puri menelungkupkan wajahnya diantara kedua tangannya, perlahan dia merasakan kedua pipinya yang panas. Dia menggigit pipi bagian dalam.

Jangan bodoh, jerit batin Puri.

Setiap adegan dalam mimpi itu sangat jelas dan kini Puri bernafas lega karena mimpi itu hanya sampai disana tidak merembet kemana-mana.

Dasar bocah yang nggak pernah pacaran, ejek Puri pada diri sendiri.

Dia berkedip cepat, setelah ini pasti tidak ada yang berubah. Mimpi itu tidak  akan berpengaruh bagaimana ia melihat Alam nantinya. Malah sekarang hatinya merapal kan maaf karena membawa Alam masuk kemimpinya. Mimpi macam apa itu.

Suara notifikasi pesan yang berasal dari ponselnya menarik Puri ke dunia nyata. Ia membuka aplikasi pesan berwarna hijau itu. Ternyata pesan dari grup, guru yang seharusnya mengisi kelas dijam pelajaran pertama tidak dapat menghadiri pertemuan kali ini. Bu Rika, selaku guru yang mengajarkan bahasa Indonesia pergi ke luar kota untuk urusan keluarga. Seketika beberapa siswa-siswi yang berada dalam kelas bersorak gembira. Mereka sudah seperti mendapat sembako gratis di pagi ini.

Tidak ayal Puri juga merasa senang. Dia masih menggulirkan jarinya dan tanpa sadar menemukan riwayat chatnya dengan Alam. Dibukanya room chat, sebenarnya tidak ada pesan intens anatara mereka namun Puri merasa perhatian-perhatian kecil yang dilemparkan Alam sangat manis. Hingga  bibirnya tersungging keatas diikuti dengan kedua pipinya yang memerah.

Di layar ponsel nampak Alam yang sedang memasukkan ayam rica-rica kemulutnya dengan ekspresi senyuman yang mampu membuat Puri memandang lama foto itu. Saat itu Puri memang memberi hasil masakannya pada Dewi dan Alam lalu tidak diduga dia malah mendapat pesan dari Alam yang berisi pujian dan sebuah pap. Tunggu apakah itu bisa dikategorikan dengan hal semacam itu? Pap?

"Puri!"

Tiga temannya, Alea, Rere dan dibelakangnya Ruby mendekati meja Puri. Buru-buru ia mematikan ponselnya lalu membalas sapaan mereka.

"Hai."

"Kita beneran khawatir loh, Ri. Lo nggak kenapa-napa, kan?" Tanya Rere yang kini sudah duduk disamping Puri.

"Gue baik-baik aja, kok. Maaf ya gue nggak ngasih kabar dulu ke kalian."

"Ya yang penting lo baik-baik aja. Tapi kata anak-anak lo sempat ngomong berdua sama Laura dimeja bar terus lo dibawa sama laki-laki, Ri. Lo beneran nggak di apa-apain?"

"Iya, jangan sembunyiin Ri. Lo nggak dibawa ngamar kan? Lo nggak di unboxing kan?"

"Rere! Mulut lo minta dirukyah." Ruby. Menyela. Rere seketika terdiam sadar suaranya yang sudah naik beberapa oktaf. Takut teman sekelas mereka malah menaruh pikiran macam-macam.

Rere lalu menyengir bodoh menggerakkan tangannya kebibir seolah-olah men-zip lock.

"Enggak kok, jangan sampe mikir kesana, deh. Gue emang sempat ngomong sama Laura. Terus laki-laki yang kalian bilang itu tetangga gue. Di anter gue pulang."

"Oh God, syukur deh kalau gitu. Tapi Laura ngomongin apaan sama lo? Dia mau macem-macem gitu?" Pembahasan tentang Laura and the geng selalu berhasil memantik kekesalan Rere.

"Biasa aja sih. Lo tau kan Laura gimana?  Paling dia cuma ngoceh nggak jelas." Puri sengaja menutupi hal yang diberi tahu Laura saat malam minggu kemarin. Kecaman Laura yang sedikit banyak membuat Puri kepikiran.

"Ngapain coba tuh nenek lampir ngajak main truth or dare segala. Pasti mereka bakal nyuruh yang macem-macem. Gila,  mending joget-joget didance floor."

"Ngajak-ngajak malah ngajak game jadul. Jaman kapan coba itu." Alea ikut menimpali lalu mereka berdua tertawa.

Sedangkan Puri hanya terkekeh kecil melihat tingkah Rere dan Alea. Tidak dapat dipungkiri Laura memang amat menyebalkan. Sejak adegan labrak saat itu Puri merasa ia juga sangat malas berurusan dengan calon adik ipar Alam itu. Laura benar-benar memiliki kesan pertama yang buru baginya. Dan hingga kini hal itu masih melekat.

"Tapi sayang banget sih lo nggak lihat kemarin malam mata Mika mau keluar tau ngelihat Alea sama Kevin. Ekspresinya udah nggak ketolong cuy."

"Gimana-gimana?" Ucap Puri.

"Lo tau sendiri dia itu kalau soal Kevin mau ngintil mulu sok-sok tebar pesona. Sengaja banget gue makin nempel sama Kevin bener-bener bikin dia kesel nggak ketolong."

"Heran banget deh sama cewek kayak gitu. Udah tau Kevin udah punya cewek tapi masih dipepet mulu. Nggak ngerti gue jalan pikirnya. Najong banget gue temenan sama cewek macam Mika." Rere berujar dengan ekspresi menggebu. Tentu saja Mika bukan hanya sekali dua kali berusaha mengambil perhatian Kevin. Dengan terang-terangan ia menunjukkan ketertarikan pada kapten basket Nusa Bangsa itu. Dan tentu saja hal itu membuat Alea dan Teman-temannya geram bukan main.

"Nggak heran sih satu kelas pada nggak ada yang sreg sama dia. Udah paling cocok bergaul sama Laura."

"Mereka itu public enemy nggak sih?"

"Itu apalagi coba? Kosa kata lo banyak banget, Re." Ruby pun buka suara setelah banyak diam.

"Ihhh lo mah selalu gitu Ruby. Masa nggak tau public enemy, sih. Bentar deh gue search biar lo lebih paham."

Ruby mengedikkan kedua bahu cuek. Dia pikir tidak terlalu update tentang segala sesuatu yang terjadi di media sosial bukanlah masalah besar.

"Kekantin aja yuk, kita mesti puas-puasin sebelum dihantam sama matematika."

"Ayo, kebetulan gue belum sarapan."

"Lo udah sarapan, Ri?"

"Udah kok."

Tangan Puri digandeng Rere. Mereka berempat berjalan menuju kantin pagi ini. Jam kosong memang selalu menjadi sesuatu yang dinanti para siswa.

___________

Wow, rasanya udah lama banget nggak update cerita ini. Moga-moga masih ada yang nungguin cerita ini, wkwkw.

Tbc.

FIX YOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang